Jumat, 25 Oktober 2013

PERKAWINAN WANITA HAMIL

MAKALAH
HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA
Tentang
 PERKAWINAN WANITA HAMIL
Diajukan Untuk Melengkapi Salah Satu Tugas  Mata Kuliah Hukum Perdata Islam di Indonesia


Oleh:
                   Irwan Suhendra


Dosen pembimbing:
Prof. Dr. H. Makmur Syarif, SH. M.Ag

JURUSAN AL - AHWAL ASY - SYAKHSHIYAH  FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1434 H / 2013 M


KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang Maha Sempurna keagunganya, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kita bersama, mudah- mudahan Allah SWT menuntun setiap langkah kita dalam kehidupan ini sehingga apapun yang kita lakukan benar- benar dalam ridha Allah.
Shalawat dan salam sejahtera kepada Nabi Muhamad SAW yang menjadi panutan dan junjungan bagi seluruh umat semua. Dan beliau meninggalkan kepada kita dua pusaka yaitu Al-Quran dan Hadis sebagai acuan hidup demi mencapai hidup yang sempurna dunia atau pun akhirat.
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas kemudahan yang diberikan-Nya sehingga kami telah menyelesaikan makalah sederhana ini tentang  Perkawinan Wanita Hamil.  Dan untuk lebih jelasnya akan dibahas dalam  pembahasan.
Akhirnya kami dari pemakalah memohon ampun kepada Allah dan meminta maaf kepada pembaca, bila ada kesalahan, kejanggalan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini karena keterbatasan ilmu dan sumber yang pemakalah dapatkan. Dan semoga dengan adanya makalah ini bisa menambah ilmu pengetahuan bagi pembaca dan begitu juga bagi pemakalah sendiri, amin.. ya rabbal ‘alamin.







BAB II
PENDAHULUAN
Kawin hamil merupakan fenomena yang semakin marak di masyarakat akhir akhir ini. Bahkan seolah-olah kawin hamil telah menjadi bagian dari budaya yang berkembang dalam masyarakat kita. Seandainya pada setiap perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah mencatat pasangan yang kawin hamil, pasti akan diperoleh data yang dapat membuat kita tercengang.
Prosentase perkawinan yang dicatat mungkin didominasi oleh kawin hamil. Namun yang menjadi persoalan adalah banyak orang di sekitar kita yang belum tahu tentang hukum kawin hamil itu sendiri, untuk itu dalam makalah ini penulis akan mengungkap misteri dibalik kawin hamil dilihat dari kacamata islam.













BAB III
PEMBAHASAN
Perkawinan Wanita Hamil
A.      WANITA HAMIL
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga  yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan wanita hamil adalah seorang wanita yang hamil sebelum melangsungkan akad nikah, kemudian dinikahi oleh pria yang menghamilinya. Oleh karena itu, masalah perkawinan wanita hamil harus dibutuhkan penelitian dan perhatian yang bijaksana terutama Pegawai Pembantu Pencatat Nikah (P3N).[1]
Menurut buku Amir Syarifuddin[2],yang dimaksud dengan anak zina atau perzinaan dalam pandangan Islam adalah hubungan kelamin yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan di luar nikah, baik masing-masing sedang terkait dalam tali perkawinan dengan yang lain atau tidak. Laki-laki yang telah melakukan perzinaan itu disebut pezina.
Tentang hamil di luar nikah sendiri sudah kita ketahui sebagai perbuatan zina baik oleh pria yang menghamilinya maupun wanita yang hamil. Dan itu merupakan dosa besar. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang secara ketat tidak memperbolehkan, ada pula yang menekankan pada penyelesaian masalah tanpa mengurangi kehati-hatian mereka. Sejalan dengan sikap para ulama itu, ketentuan hukum Islam menjaga batas-batas pergaulan masyarakat yang sopan dan memberikan ketenangan dan rasa aman.
Dalam Impres No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam(KHI), Bab VIII Kawin Hamil sama dengan persoalan menikahkan wanita hamil. Pasal 53 dari BAB tersebut berisi tiga (3) ayat, yaitu:[3]
1.      Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya.
2.      Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.
3.      Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Dasar pertimbangan Kompilasi Hukum Islam terhadap perkawinan wanita hamil adalah QS: An-Nur ayat 3, yang berbunyi.[4]
ÎT#¨9$# Ÿw ßxÅ3Ztƒ žwÎ) ºpuŠÏR#y ÷rr& Zpx.ÎŽô³ãB èpuÏR#¨9$#ur Ÿw !$ygßsÅ3Ztƒ žwÎ) Ab#y ÷rr& Ô8ÎŽô³ãB 4 tPÌhãmur y7Ï9ºsŒ n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÌÈ   
Artinya: laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.

Maksud ayat di atas ialah tidak pantas orang yang beriman kawin dengan yang berzina, demikian pula sebaliknya. Persoalan menikahkan wanita hamil apabila dilihat dari KHI, penyelesaiaanya jelas dan sederhana cukup dengan satu pasal dan tiga ayat. Yang menikahi wanita hamil adalah pria yang menghamilinya, hal ini termasuk penangkalan terhadap terjadinya pergaulan bebas, juga dalam pertunangan. Asas pembolehan pernikahan wanita hamil ini dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepastian hukum kepada anak yang ada dalam kandungan, dan logikanya untuk mengakhiri status anak zina.
B.     Berkenaan Dengan Pezina
Bahasan berkenaan dengan pezina menyangkut dua hal[5], yaitu: kawin dengan pezina dan kawin dengan pezina yang sedang hamil atau perempuan hamil sebagai akibat zina.
1.      Kawin dengan pezina
Perempuan pezina haram dikawini oleh laki-laki baik (bukan pezina), sebaliknya perempuan baik-baik tidak boeh kawin dengan laki-laki pezina. Keharaman mengawini pezina ini berdasarkan firman allah dalam surah an-Nuur ayat 3.
ÎT#¨9$# Ÿw ßxÅ3Ztƒ žwÎ) ºpuŠÏR#y ÷rr& Zpx.ÎŽô³ãB èpuÏR#¨9$#ur Ÿw !$ygßsÅ3Ztƒ žwÎ) Ab#y ÷rr& Ô8ÎŽô³ãB 4 tPÌhãmur y7Ï9ºsŒ n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÌÈ   
Artinya: laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.
Ayat Al-Qur’an di atas dikuatkan oleh hadis Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat Abu Daud dan Ahmad:
قل ر سول الله صلى الله عليه و سلم الزانى امجلود لا ينكح الا مشله
Bahwasanya Nabi SAW. bersabda: “pezina yang telah menjalani hukuman tidak boleh kawin kecuali dengan sesamanya.
Ulama berbeda dalam memahami hukum yang timbul dari ayat al-Qur’an dan hadis Nabi yang menguatkannya tersebut di atas, karena larangan (لا) dalam ayat mengandung kemungkinan larangan haram atau berarti mencela. Sebagian ulama berpendapat tidak bolehnya melakukan perkawinan dengan pezina sedangkan sebagian lain membolehkannya. Alasannya adalah larangan mengandung arti celaan dan bukan haram. Mereka memperkuat pendapatnya denga hadis Nabi yang mengisahkan Ibnu Rusyd:
Bahwa seorang laki-laki berkata kepada nabi SAW. tentang istrinya yang tidak menolak sentuhan laki-laki lain. Nabi berkata kepadanya: “ceraikanlah dia”. Si laki-laki berkata: “saya masih mencintainya”. Nabi berkata: “kalau begitu tahanlah dia”.
Apabila pezina tadi sudah tobat semua ulama sepakat mengatakan bahwa larangan tidak berlaku lagi karena dengan tobat itu dia sudah menjadi perempuan atau laki-laki baik-baik dan tidak akan disebut pezina dan dosanya diampuni Allah. Sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Furqan ayat 68 dan 70.
2.      Kawin dengan perempuan hamil karena zina
Dalam hal mengawini perempuan hamil karena zina ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukumnya.
a.       Ulama Malikiyah dan Hanabilah mengatakan bahwa, perempuan tersebut tidak boleh dikawini kecuali setelah ia melahirkan anak; sebagaimana tidak boleh mengawini perempuan dalam masa iddah hamil.
b.      Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Zhahiriyah mengatakan bahwa, perempuan yang sedang hamil karena zina itu boleh dikawini tanpa menunggu kelahiran bayi yang dikandungnya.
Dalam hal apakah perempuan tersebut boleh digauli oleh suaminya sewaktu masih hamil berbeda  pendapat mereka.
a.       Menurut Hanafiyah, perempuan itu tidak boleh digauli oleh suaminya sebelum ia melahirkan dan habis masa nifasnya. Alasannya adalah karena adanya hadis Nabi yang melarang menumpahkan bibit di lading orang lain. Pendapat ini juga berlaku di kalangan ulama Zhahiriyah.
b.      Syafi’iyah, suami yang telah mengawini perempuan hamil itu boleh menggauli istrinya itu tanpa menunggu kelahiran anak. Alasanya ialah karena denga telah menjadi istrinya sudah halal dia mengauli.
Jadi penullis dapat menyimpulkan dari pendapat para ulama yang mengatakan bahwa laki-laki yang berzina halal menikahi wanita yang berzina pula. Dengan demikian perkawinan antara pria dengan wanita yang dihamili sendiri adalah sah. Mereka boleh bersetubuh sebagaimana layaknya suami isteri, ini juga tidak bertentangan dengan isi surat An-Nur ayat (3), karena mereka statusnya sebagai orang yang berzina.
Seperti Ketentuan mengenai kawin hamil dalam Pasal 53 KHI yang merupakan ketentuan baru dalam hukum perkawinan di Indonesia Dalam Pasal 53 disebutkan bahwa seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil tersebut dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan lagi setelah anak yang dikandungnya lahir.

C.     Status anak dari hamil zina
Meurut fiqh Islam dalam pemahaman yang cukup tegas berkenaan dengan anak yang sah, tidak ditemukan defenisi yang jelas dan tegas berkenaan dengan anak yag sah. Namun, berangkat dari definisi ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis, dapat diberikan batasan, anak sah adalah anak yang lahir oleh sebab dan di dalam perkawinan yang sah. Selain itu, anak zina yang hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya[6].
Adapun anak dari hasil hubungan zina, maka setelah perkawinan kedua orang tuanya dapat ditetapkan dengan dua kemungkinan, yakni:
1.      bila anak tersebut lahir 6 (enam) bulan lebih  setelah perkawinan sah kedua orang tuanya, maka nasab nya adalah kepada suami yang telah mengawini  ibunya itu.
2.      bila anak tersebut lahir kurang 6 (enam) bulan setelah perkawinan sah kedua orang tuanya, maka nasab anak tersebut adalah kepada ibunya.
Hal ini bersesuaian dengan pendapat jumhur ulama’ diantaranya syekh muhammad Zaid Al- Abyani  yang menyatakan bahwa batas minimal umur kandungan adalah 180 hari = 6 bulan. Para ulama mendasarkan hukumnya dari perpaduan dua ayat, masing masing dari surat Al- Ahqoof ayat 15 dan surat Luqman ayat 14.
¼çmè=÷Hxqur ¼çmè=»|ÁÏùur tbqèW»n=rO #·öky­ 4  
Artinya: …Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,…








BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Jadi penullis dapat menyimpulkan dari pendapat para ulama yang mengatakan bahwa laki-laki yang berzina halal menikahi wanita yang berzina pula. Dengan demikian perkawinan antara pria dengan wanita yang dihamili sendiri adalah sah. Mereka boleh bersetubuh sebagaimana layaknya suami isteri, ini juga tidak bertentangan dengan isi surat An-Nur ayat (3), karena mereka statusnya sebagai orang yang berzina.
B.     Saran
Semoga kita terjaga dan dijaga dari pergaulan bebas yang semakin gencar terjadi di sekeliling kita. Semoga Allah mempertemukan kita dengan jodoh yang sama sama mukmin dan pandai menjaga kesucian diri serta kehormatan diri. Amiin…










DAFTAR PUSTAKA
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006
Suparman Usman, Hukum Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002
Amir Syaripudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia:Antara Fiqh Munakahat dan UU Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2006
Busthanul Arifin, Hukum Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, Jakarta:Kencana, 2004


[1]Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 45
[2] Amir Syaripudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia:Antara Fiqh Munakahat dan UU Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2006, hlm. 130
[3] Busthanul Arifin, Hukum Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002, hlm. 235
[4] Zainuddin Ali, Opcit, hlm 45-46
[5] Amir Syarifuddin, Opcit, hlm. 130-131
[6] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, HUKUM Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, Jakarta:Kencana, 2004, hlm. 276-277