Jumat, 16 Maret 2012

ppti malalo: periode kebangkitan fikih

ppti malalo: periode kebangkitan fikih: BAB I PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pegetahuan di dunia Islam berjalan melalui beberapa tahap, begitu juga dengan perkembangan dibidang huku...

periode kebangkitan fikih

BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pegetahuan di dunia Islam berjalan melalui beberapa tahap, begitu juga dengan perkembangan dibidang hukum dalam Islam. Hokum Islam sendiri barjalan semenjak dari masa Rasulullah sampai dengan sekarang terjadi beberapa periode penting yang sangat mempengaruhi hokum itu sendiri, hal tersebut dipengruhi oleh beberapa factor, mulai dari kondisi financial bangsa Islam itu sendiri sampai pada kondisi politik di dunia Islam.
            Pada makalah sebelumnya sudah dibahas bebrapa periode menbgenai hukum Islam, mulai sejak masa Rasulullah, masa Sahabat, masa Fuqahaq sampai pada masa bangsa islam memakai prinsip untuk taqlid pada hokum yang telah disampaikan oleh ulama mazhab, sehingga terjadi pada masa itu orang mengharamkan untuk melakukan ijtihad.
Pada makalah kali ini penulis akan menyajikan pembahsan tentang masa kebangkitan dalam Islam sesudah terjadi periode taqlid. Mekalah ini membahas mengenai kondisi masyarakat pada masa itu sampai pada bentuk atau format kebangkitan hokum Islam tersebut. Semoga makalah yang penulis bahas pada kesempatan ini bisa membuat pembaca merasa puas dan mengerti dengan kondisi hokum Islam pada periode ini. Selamat membaca.









BAB II
PERIODE KEBANGKITAN
A.    Kondisi awal pada masa kebangkitan fikih
Periode ini, menurut  Hasbi ash-Shidiqy, disebut juga dengan periode Renaissance, berlangsung sejak abad ke-7 H sampai sekarang (abad ke-20 M).  bid’ah dan mengajak umat Islam untuk kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah, Disebut periode kebangkitan fiqih karena pada masa ini, timbul ide, usaha, dan gerakan-gerakan pembebasan dari sikap taklid yang terdapat dalam uamat Islam dan dalam ilmu pengetahuan Islam, Gerakan ini timbul setelah munculnya kesadaran umat Islam akan adanya kelemahan dan kemunduran kaum muslimin  yang disebabkan oleh adanya penetrasi Barat dalam berbagai bidang kehidupan sehingga menimbulkan gerakan-gerakan keagamaan diberbagai negeri islam. Diantaranya di Hijaz, pada abad ke-13 H/18 M, muncul suatu gerakan yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (w 1206 H). Gerakan ini menyerukan pembasmianserta amalan-amalan ulama sahabat dalam mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam. Gerakan ini kemudian diikuti oleh sejumlah gerakan yang dipelopori beberapa ulama, seperti Muhammad bin Sanusi di Libiya dan Afrika Utara, Jamaliddin al-Afghani dan Muhammad Abduh di Mesir, al-Mahdi di Sudan, K.H. Muhammad Dahlan, H.A. Karim Amrullah, dan T.M. Hasbi ash-Shiddieqy di Indonesia, dan masih banyak lagi.[1]
Pada dasarnya, gerakan ini menyeru pada kebangkitan umat Islam, pengusiran terhadap penjajah, pengembangan ilmu pengetahuan islam, meninggalkan taklid buta dan bid’ah, dan kembali pada ajaran al-Quran dan as-Sunnah, serta mengikuti metode ulama salaf (ulama sahat dan ulama-ulama sebelum masa kemunduran). Seruan ini senada dengan apa yang telah dikumandangakan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim pada periode yang lalu. Dengan usaha mereka inilah, muncul corak baru dalam mempelajari fikih, yaitu kembali pada al-Quran dan as-Sunnah dalam menyelesaikan masalah-masalah hokum sesuai dengan hajat dan perkembangan masyarakat.
Majalah al-Urwat al-Wutsqa dan majalah al-Manar digunakan sebagai alat untuk menyebarluaskan gagasan-gagasan tersebut keseluruh dunia Islam sehingga lahirlah ualam-alama merdeka disetiap negeri Islam yang dianggap dapat memenuhi segala kebutuhan masyarakat didalam masalah-masalah keagamaan.
Pengaruh yang ditinggalkan pada periode ini adalah
1.      Usaha pengkajian dan penulisan kitab-kitab fiqih
2.      Usaha menyusun hokum-hukum fiqihsecara system undang-undang tanpa membatasi diri dengan suatu mazhab tertentu.
Metode pengkajian umumnya melalui system perbandingan, yaitu mempelajari pendapat semua semua fuqaha dari semua mazhab, kemudian membandingkan satu sama lainnya dan dipilih sayu pendapat yang dianggaplebih benar. Adapun cara penulisan pada periode ini umumnya terpokus pada kajian hokum tertentu, seperti kitab kusus mengenai muamalat, jinayat, dan sebagainya.
Usaha menyusun secara undang-undang sebenarnya sudah dilakukan sejak pemerintahan Abbasiyah. Sebagai contoh, UU tentang keuangan (perpajakan) yang dikenal dengan kitab al-Kharaj yang disusun oleh Abu Yusuf atas permintaan Khalifah Harun al-Rasyd. Usaha tersebut pada masa ini lahir kembali dalam bentuk yang lebih nyata. Sebagai contoh, pada tahun 1293 H, panitia pengodifikasian yang dibentuk oleh pemerintah kerajaan Usmani telah berhasil menyusun kitab UU perdata yang terdiri dari 1985 pasal. Pada tahun 1328 H, disusun pula UU keluarga yang diambil dari mazhab Hambali.

B.     Format kebangkitan fiqih sampai sekarang
Kebangkitan fiqih pada masa ini dapat dilihat sebagai berikut:
Pertama, munculnya kecendrungan baru dalam mengkaji fikih Islam tanpa harus terikat dengan mazhab imam tertentu. Fanatisme mazhab yang telah membelenggu umat selama tujuh abad, mereka sadari sebagai malapetaka. Hal ini tentu sangat positif karna melahirkanpostulat,”memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik."
Kedua, berkembangnya kajian fiqih muqaran (fiqih perbandingan). Perbandingan ditak hanya terfokus pada internal mazhab-mazhab fiqih melainkan merambah antara hokum Islam dan hokum positif barat.
         Musthafa Ahmad az-Zarqa mengemukakan bahwa, paling tidak, ada tiga cirri yang mewarnai perkembangan pada periode ini.
1.      Munculnya upaya pengkodivikasian fiqih sesuai dengan tuntunan situasi dan zaman
2.      Upaya pengkodivikasian semakin luas, bukan saja di wilayah yurisdiksi kerajaan Turki Usmani, tetapi juga diwilayah-wilayah yang ditak tunduk pada yurisdiksi Turki Usmani, seperti Suriah, Palestina, dan Irak. Pengkodivikasian hokum tersebut tidak terbatas pada hokum perdata saja, tetapi juga hokum perdana dan hokum administrasi Negara.
3.      Munculnya upaya pengkodivikasian berbagai hokum fikih yang tidak terikat sama sekali dengan mazhab fiqih tertentu. Hal ini didasarkan atas kesadaran ulama fiqih bahwa sesuatu yang terdapat dalam suatu mazhab belum tentu dapat mengayomi permasalahan yang dihadapi ketika itu.
         Pada akhir abad ke-13 bersinarlah cahaya ijtihad kembali, yaitu denganjalan pemerintah Usmaniyah mengumpulkan segolongan ulama-ulama besar dan menugaskan mereka menyusun suatu undang-undang dalam bidang muamalah Madaniyah, dan hokum-hukum itu tidak harus diambil dari mazhab-mazhab yang terkenal saja. Para ulama ini berkumpul dan menyisun sebuah undang-undang pada tahun1286 H. Undang-undang dimuat dalam suatu kitab yang dinamakan majallah al-Ahkamul ‘adliyah. Dan pada tahun 1292 H, dijadikannya undang-undang yang harus diturut dan dengan undang-undang itu mulailah di tembus mazhab empat dan dipergunakan mazhab Ibnu Subrumah dalam membolehkan jual belui dengan syarat.
         Tatkala di mesir timbul banyak keluhan rakyat kerena pemerintah berpegang teguh kepada mazhab Abu Hanifah dan menjadikan pedoman bagi para hakim, maka pemerintah Mesir pada tahun 1920 M. Mengambil langkah baru untuk menghilangkan keluhan-keluhan rakyat itu, yaitu mengeluarkan undang-undang yang didalamnya terdapat beberapa hokum dalam bidang hokum keluarga yang menyalahi hokum Abu Hanifah, yang diambil dari mazhab-mazhab empat yang lain.[2]
         Muhammad Abduh dalam tafsir al-Manar mengkritik orang yang menutup ijtihad dan yang melarang orang lain berijtihad. Sedang al-Thahthawy dalam bukunya al-Qaul al-Sadid al-Ijtihad wa al-Taqlid, sebagaimana dikutip Harun Nasution, menjelaskan bahwa ijtihad perlu diadakan untuk menghadapi problem-problem yang timbul di zaman modern.
         Walaupun dewasa ini tapaknya pendapat umum didunia Islam mengakui terbukanya pinti ijtihad, namun dalam kenyataannya sedikit sekali ijtihad yang dilakukan para ulama. Mungkin salah satu sebabnya karena masalah keagamaan dimunculkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern semakin pelik dan komplek, misalnya masalh keluarga berencana, berkaitan erat dengan ilmu kependudukan, ilmu ekonomi, ilmu keagamaan. Sementara itu, pengetahuan ulama hanya terbatas pada bidang spesialisasinya. Karena itu, dizaman modern ini, ijtihad individual nampaknya yidak mampu lagi memecahkan masalah yang muncul. Oleh sebab itu, lembaga ijtihad atau ijtihad kolektif yang beranggotakan ilmuan dari berbagai disiplin ilmu, sangat dibutuhkan.
         Dengan cara demikian, satu masalah dapat ditinjau dari berbagai dimensi dan aspek, sehingga tampaklah hakikat suatu masalah dan cara menyelesaikannya dapat dipikirkan bersama. Namun harus diingat bahwa kesepakatan bersama dalam suatu masalah jangan sampai membatasi seseorang yang mampu berijtihad secara individual untuk mengeluarkan pendapatnya, bila ternyata hasilnya berbeda dengan apa yang telah disepakati. Harus pula diwaspadai agar jangan sampai terjadi kekacauan dan kebingungan masyarakat karena banyaknya pendapat produk”ijtihad” yang tidak bertanggung jawab.[3]













                                                             KESIMPULAN
Disebut periode kebangkitan fiqih karena pada masa ini, timbul ide, usaha, dan gerakan-gerakan pembebasan dari sikap taklid yang terdapat dalam uamat Islam dan dalam ilmu pengetahuan Islam, Gerakan ini timbul setelah munculnya kesadaran umat Islam akan adanya kelemahan dan kemunduran kaum muslimin  yang disebabkan oleh adanya penetrasi Barat dalam berbagai bidang kehidupan sehingga menimbulkan gerakan-gerakan keagamaan diberbagai negeri islam. Diantaranya di Hijaz, pada abad ke-13 H/18 M, muncul suatu gerakan yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (w 1206 H). Gerakan ini menyerukan pembasmian serta amalan-amalan ulama sahabat dalam mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam. Gerakan ini kemudian diikuti oleh sejumlah gerakan yang dipelopori beberapa ulama, seperti Muhammad bin Sanusi di Libiya dan Afrika Utara, Jamaliddin al-Afghani dan Muhammad Abduh di Mesir, al-Mahdi di Sudan, K.H. Muhammad Dahlan, H.A. Karim Amrullah, dan T.M. Hasbi ash-Shiddieqy di Indonesia, dan masih banyak lagi.[4]
SARAN
Dengan mempelajari tentang kebangkitan kembali daya ijtidad yang dilakukan oleh para ulama di tahun 13 H ini, hendaknya bisa membuka wawasan kita betapa perlu untuk mengkaji ulang, dan memahami kembali, hokum-hukum atau ktab-kitab yang dibuat oleh ulama-ulama terdahulu, dan dibandingkan antara satu sama lain, dan dipakai hokum yang relevan pada saat sekarang, dan disini penulis menyarankan juga agar diantara kita, tidak saling menyalahkan, dan perpecahan antara kita kalau terdapat diantara kita perbedaan.



                                                                                                 
                                                                          


DAFTAR PUSTAKA
Dedi Supriyadi, MAg, Sejarah Hukum Islam,(Bandung: Pustaka Setia), 2007
Huzaemah Tahido Yanggo, Perbandingan Mazhab Pengantar,(Jakarta: Logos Wacana Ilmu). 1997
Hasbi as-Shiddieqy, Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Hukum Islam,(Jakarta : Bulan Bintang), 1970


[1] Dedi Supriyadi, MAg, Sejarah Hukum Islam,(Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm,119
[2]Hasbi as-Shiddieqy, Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Hukum Islam,(Jakarta : Bulan Bintang, 1970), hlm,191
[3] Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, Perbandingan Mazhab Pengantar,(Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997), hlm,45
[4] Dedi Supriyadi, MAg, Sejarah Hukum Islam,(Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm,119

pengertian, macam-macam, dan syarat-syarat ijtihad


Pengertian, macam-macam, dan syarat-syarat ijtihad