-->
BAGIAN IV
BIOGRAFI
PARA PATRIOT
MADRASAH
TARBIYAH ISLAMIAH
Mungkin banyak diantara
saudara-saudara yang bertanya-tanya mengapa kami di sini memakai kata patriot,
atau mungkin ada diantara saudara yang tidak setuju dengan kata-kata tersebut.
Sebenarnya menurut kami hal tersebut tidak ada masalahnya, karna perbedaanlah
kita bisa bisa jadi teguh dalam kehidupan ini.
Sebenarnya kami memakai kata
petriot karna terinspirasi dari buku karangan Andrea Herata yang berjudul
sebelas patriot. Disitu dia menceritakan tentang sebelas pesepak bola yang
menurutnya adalah sebelas pahlawan bangsa, kalau dia mengatakan pesepak bola
adalah pahlawan, jadi apa salahnya kalau ulama-ulama yang memperjuangkan Tarbiyah
juga kita sebut dengan pahlawan bangsa bahkan Agama.
Demi memperluas pengetahuan kita
tentang tarbiyah islamiyah. Maka ada baiknya bagi kita untuk mengetahui
biografi dari para pendiri Madrasah Tarbiyah Islamiah, tapi kami tidak dapat
menyajikan biografi mereka secara lengkap, karna kekurangan referensi yang kami
temukan. Dan mari kita lihat satu persatu dari perjalanan mereka dalam menuntut
ilmu agama.
1.
Syekh
Sulaima Ar-Rasuli (Inyiak Canduang)
Di sini
sangatlah pantas apabila kita terlebih dahulu membahas biografi dari seorang
ulama sumatera barat yang sangat fenomenal di zamannya, bahkan apa yang beliau
usahakan di zamannya tersebut masih bisa kita rasakan sampai saat sekarang ini,
beliau adalah orang yang sangat berperan besar dalam perjuangan berdirinya Madrasah Tarbiyah Islamiah secara khusus dan organisasi Tarbiyah
Islamiah secara umumnya. Beliau ialah
Syekh Sulaiman Ar-Rasuly.
Syekh Sulaiman Ar-Rasuly dilahirkan di candung
yaitu sebuah desa yang kurang lebih sekitar 8 KM sebelah timur kota bukittinggi,
tepatnya di kaki gunung merapi sumatera barat. Panggilan populer beliau adalah
inyiak canduang. Inyiak canduang dilahirkan oleh pasangan angku muhammad rasul
dan siti buli’ah.
Dari bidang
pengetahuan, beliau berguru kepada beberapa ulama yang ada di sumatera barat
pada saat itu, diantara nya beliau berguru kepada :
·
Belajar di pesantren tuanku sami ilmiyah
di baso
·
Syekh muhammad thaib umar di sungayang,
batu sangkar
·
Syekh abdullah halaban
Setelah itu,
pada tahun 1903 beliau berangkat ke tanah suci makkah mukarramah untuk
menunaikan ibadah haji dan memperkaya lagi ilmu
pengetahuan agamanya dengan ulama-ulama yang terkenal di sana, seperti :
·
Syekh ahmad khatib al-minagkabawy
·
Syekh muchtar at-tharid
·
Syekh umar bajened
·
Syekh sayid abbas al-yamani
Setelah cukup
lama beliau di makkah, maka bliau kembali ke ranah minang pada tahun 1907. Lalu
beliau pun mengembangkan ilmu yang beliau dapat di tanah kelahiran beliau
dengan cara membentuh halakah-halakah. Dan beliau juga ikut serta dalam
perjuangan kemerdekaan indonesia.
Beliau meninggal
dunia pada tanggal 1 agustus 1970. Dan beliau masih meninggalkan sebuah
madrasah yang masih berdiri hingga detik ini, yang kita kenal dengan MTI
Canduang. Semoga limpahan rahmat dan karunia selalu dicurahkan Allah kepada beliau.
Aamiin ya Rabb..!!!!!!
2. Syekh muhammad jamil
jaho (inyiak jaho)
Beliau dihirkan
di suatu desa atau suatu daerah kecil yang terletak di daerah tambangan, padang
pajang, sumatera barat, nama daerah kecil tersebut adalah nagari jaho, pada
tahum 1875. Beliau dilahirkan oleh pasangan Datuk Garang (dari tambangan) dan
Umbuik, seorang perempuan yang sangat di segani oleh masyarakat setempat pada
masa itu.
Keluarga beliau
adalah keluarga yang sangat relegius, sehingga latar belakang tersebut yang
memdorong beliau untuk selalu mendalami ilmu agama, sehingga membuat beliau
haus akan ilmu agama itu sendiri.
Beliau belajhar
al-Qur’an langsung pada sang ayah, setelah beliau bisa baca tulis al-Qur’an,
beliau pun belajar kitab-kitab perukunan (kitab-kitab arab melayu) jaga pada
sang ayah. Di saat usianya mengijak 13 tahun, beliau sudah bisa menghafal
al-Qur’an.
Setelah beliau
hafal al-Qur’an, lalu ayahnya mulai mengajarkan kitab kuning (arab gundul)
kepada beliau. Sehingga beliau pintar bahasa arab secara lisan maupun secara
tulisan.
Selanjutnya
beliau mulai belajar di halaqah-halaqah yang ada di daerahnya, yaitu di
pesantren yang dibina oleh syekh al-Jufri dan beliau pun menjadi murid
kesayangan oleh syekh al-Jufri tersebut.
Pada tahun 1893
M beliaua menyelesaikan belajar pada syekh al-Jufri dan melanjutkan ke seorang
ulama fiqih terkenah di tanjung bungo
padang ganting yaitu syekh al-Ayyubi. Disinilah beliau kenal dengan
syekh Sulaiman ar-Rasuly, dan beliaupun menjadi sahabat yang sangat dekat. Dan mereka
belajar di sana selam 6 tahun. Lalu mereka berdua melanjutkan belajar ke biaro
koto tuo. Tempat berkumpulnya para ulama-ulama besar pada saat itu.
Pada tahun 1899
mereka pun menyelesaikan belajar di sana dan melanjutkan menuntyut ilmu ke pada
syekh Abdulla Halaban, yaitu seorang ulama yang sangat alim dibidang ilmu
nfiqih dan ushul fiqih. Disinilah syekh muhammad jamil jaho atau inyiak jaho
dipercayai menjadi seorang pengajar atau guru (ustadz). Beliau juga sering di
ajak olek syekh Abdullah Halaban pergi ke pengajian-pengajian keliling sumatera
barat oleh syekh Abdullah Halaban ini.
Pada tahun 1908
beliau berangkant ke makkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menambah
ilmu pengetahuan beliau disana. Tetapi, sebelum beliau berangkat, beliau mempersunting
seorang gadis yang berasal dari tambangan yang bernama Saidah. Dan dari istri
beliau yang inilah beliau dianugerahi dua orang putri kelaknya yaitu, yang
mereka beri nama samsiiah dan syafiah.
A.Ginanjar
sebagaiman mengutip dari mukaddimah kita Tazdkirah al-kulub karangan iyiak jaho
sendiri mengungkapkan bahwa saat di makkah beliau berguru kepada beberapa orang
ulama, diantaranya:
·
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawy
·
Syekh Abdul Karim Amrullah (ayah dari
buya Hamka)
Beliaua belajar disana selama 10 tahun
sehingga beliau menerima 3 ijazah dari tiga orang ulama di sana, yaitu:
·
Syekh Ahmad Khatib (guru fiqih mazhab
syafi’i)
·
Syekh Alwi al-Mliki (guru fiqih mazhab
Maliki)
·
Syekh Muchtar al-Affani (guru fiqih
mazhab hambali)
Setelah beliau
kembali ke kampung haamannya, beliau mempelopori berdirinya Persatuan Ulama
Minangkabau dan perguruan Islam Thawalib pada tahun1922 bersama denga syekh
Sulaiman ar-Rasuly dan syekh Abdul Karim Amrullah.
Seterusnya pada
tahun 1924 beliau mendirikan surau dan membuat halaqah pengajian di kampung
beliau, dan konon katanya halaqah inilah yang berkembang menjadi sebuah madrasah yang kita kenal dengan MTI Jaho.
Inyiak jaho juga
di kenal sebagai ulama yang berperan besar dalam kiprah muhammadiyah di ranah
minang, bisa dikatakan hadirnya muhammadiyah di minang terkhusus di batipuah
tidak terlepas dari kepedulian beliau dan syekh Muhammad Zain Simabur.
Tetapi keduanya
mengundurkan diri dari kepengurusan organisasi ini pada saat kongres
muhammadyah yang ke-16 di pekalongan pada tahun 1927. Alasannya adalah
pada persoalan membuka peluang ijtihad dan menolak taqlid kepada
pendapat ulama.
Karna beliau dan
inyiak candung memang dikenal ulama yang
berdaham menolak pola ijtihat dan menerima bersikap taqlid kepada ulama-ulama
terdahulu. Karna mereka mengikuti cara berfikir syekh Yusuf Nabhani yang anti
dengan pemikiran Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani dan Rasyid Ridha
Sebelum beliau
wafat pada tahun 1360 H/ 1941 M, beliau sempat menulis beberapa karya tulis, di
antaranya:
·
Tazdkiratul qulub fil muraqabah ‘allamul
ghuyub
·
Nujumul hidayah
·
As-syamsul lami’ah
·
Fil ‘aqidah wa diyanah
·
Hujjatul balighah
·
Al-maqalah ar-radhiyah
·
Kasyful awsiyah.
3. Syekh Zakaria
al-Anshori Labai Sati
Syekh Zakaria al-Anshori
Labai Sati adalah seorang ulama yang dilahirkan di malalo kecamatan Batipuah
(sekarang Batipuh Selatan), Tanah Datar tepatnya di daerah padang laweh yang
terletak kurang lebih satu kilo sebelum pasar Malalo tersebut, yang bertepatan
pada tahun 1898 M.
Pada awalnya beliau hanya dikenal dengan
panggilan buyuang dan orang luar malalo mengenalnya dengan nama buyuang malalo,
walaupun nama asli beliau adalah
Zakaria.
Beliau mengawali
pendidikannya di sekolah formal waktu itu dikenal dengan SR atau Sekolah
Rakyat, setelah itu beliau pergi mengaji atau mendalami ilmu agama Islam ke
Koto Baru Padang Pajang bersama dengan kakak beliau yang bernama Tuangku Dt.
Pangulu Kayo (ayah dari tuangku Muhammad Yunus yang pernah menjadi pimpinan
PPTI) dan mareka mendalami ilmu agama di daerah tersebut.
Lalu beliau melanjutkan
pendidikan beliau kedaerah padang pajang lainnya yaitu daerah Jaho Tambangan,
tetapi pada saat itu beliau sudah fashih membaca kitab sehingga beliau pun
menjadi murid yang sangat pintar dan menjadi murid kesayangan sang Guru yaitu
Syekh Muhammad Jamil Jaho.
Setelah cukup lama beliau
menggali ilmu bersama Syekh Muhammad Jamil Jaho beliau pun kembali ke tanah
kalahiran beliau untuk mengembangkan ilmu yang beliau dapat di tengah-tengah
masyarakat. Sehingga tepat pada tahun 1930 beliau berinisiatif dan juga
dukungan dari masyarakat setempat untuk mendirikan sebuah madrasah yang dikenal
dengan Madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo (sekarang Pondok Pesantren Tarbiyah
Islamiyah Malalo).
Beliau memiliki beberapa
orang istri dan beberapa orang anak, istri beliau yang pertama adalah Maimunah
(almarhumah) dan dikarunia bebepara orang anak, yang kedua adalah Saunah di dua
koto suatu daerah yang terletak di atas pasar Malalo dan memiliki 3 orang
putri, 1) Nur’aini, 2) Syamsidar, dan 3) Hayatun Nufus.
Istri beliau yang ketiga
adalah Jamiah di Padang Laweh dan
memilki 6 orang anak, 1) Izzuddin Dt. Panduko nan Banso (pimpinan pondok
sekarang), 2) Mulkhair, 3) Habiburrahman, 4) Syhiruddin, 5) Nailus Sa’adah, dan
6) Azizatul Jannah
istri beliau yang terakhir adalah Salamah yang
berasal dari daerah Aceh dan dikarunia satu orang putri yang bernama Raudhatun
Nur dan seoranga putra yang bernama Muhibbuttibri.
Pada tahun 1967 M beliau
pergi menunaikan panggilan Allah ke Mekkah yang pada saat itu masih menggunakan
kapal. Dalam perjalanan beliau itu beliau sempat singgah di Universitas yang
sudah ada di Madinah al-Munawarah pada saat itu.[1]
Ada beberapa kisah menarik
dalam kehidupan beliau yang pernah penulis dengan dan penulis rasa pantas untuk
dituangkan ke dalam buku ini, diantaranya:
1.
Tambahan
al-Anshari pada nama beliau
Konon ceritanya gelar al-Anshori yang ada di belakang nama beliau
itu buan dari orang tua atau sanak keluarga beliauy, tetapi diberi oleh sahabat
beliau sendiri yang bernama syekh Muda wali Aceh, atau yang lebih dikenal
dengan sebutan buya Aceh[2].
Cerita ini diawali ketika buya Aceh datang ke Suamatera Barat dan
mendatangi daerah-daerah Suamatera Barat yang terkenal tinggi ilmu agamanya,
dan akhirnya buya Aceh sampai ke madrasah Tarbiyah Islamiyah Jaho pada tahun 1940-an.
Dimalam harinya buya Aceh berkumpul dengan para santri senior dan
terjadi aksi tanya jawab yang cukup tegang antara Buya Aceh dengan para santri
Tarbiyah Islamiyah Jaho sampai akhirnya ada satu pertanyaan Buya Aceh yang
tidak bisa mereka jawab pada saat itu. Pertanyaan tersebut mengenai masalah
yang ditemui oleh Buay Aceh dalam suatu kitab yang menerangkan bahwa “ketika
hari raya ID jatuh pada hari jum’at dan orang sudah melakukan sholat ID, maka
orang tersebut tidak perlu sholat jum’at lagi, cukup sholat Dzuhur saja”.
Pada pagi harinya inyiak Jaho mengirim sebuah surat pada Buya Labai
Sati atau yang dikenal pada saat itu dengan nama Buyuang Malalo.setelah Buya
Labai Sati menerima surat tersebut, lalu beliau brangkat dari Malalo, dan
disore harinya Buya Labai Sati sampai di Tarbiyah Jaho, sesuada sholat ‘isya
mereka kembali berkumpul untuk kembali
melanjutkan diskusi/perdebatan
yang masih ditunda semajak
kemaren malamnya. Dan pertanyaan Buya Aceh yang tidak bisa dijawab
itu akhirnya bisa dijawab oleh Buya Labai Sati. Karna perdebatan itu sangat
panjang sehingga semua santri Tarbiyah
Jaho yang ada di ruangan itu tertidur.
Karena tidak ada yang bertanya lagi,maka Buya Labai Sati memberikan
satu pertanyaan kepada Buya Aceh, karena hal inilah nama Buya Labai Sati
menjadi Syejkh Zakaria al-Anshari yang langsung diberikan oleh Syekh Muda Wali
sendiri[3].
Dan semenjak pertemuan itulah Buya
Labai Sati dan Buya Aceh menjadi sahabat yang sangat dekat, sehingga suatu
ketika ada orang dari Maninjau yang membatalkan kajian tarekat, mereka berdualah yang diutus oleh Buya Jaho
untuk meluruskan masalah yang dikemukakan oleh orang Maninjau tersebut.
Kebersamaan beliau dengan buya Aceh juga berdampak pada kebiasaan
biliau yang akhirnya berubah karena buya Aceh ini yaitu dalam menentukan awal
bulan ramadhan. Awalnya buya Labai Sati melaksanakan Puasa terakhir sebagaimana
kebanyakan orang Malalo pada saat itu. Namun hal ini tidak pernah dibantah oleh Buaya Aceh, karena
rasa toleransi (tasamuah) mereka antara satu dengan yang lainnya sangat tinggi
yang sangat kental dalam konsep ahlussunnah wal jama’ah.
Suatu ketika akan memasuki bulan ramadhan Buya Aceh mengajak Buya Labai Sati untuk melihat hilal ke
padang, sesampainya di indaruang Padang, ketika waktu matahari tenggelam, dan
pada saat itu mereka berdua langsung melihat hilal sudah ada, sehingga keesokan
harinya mereka berpuasa, padahal biasanya Buya Labai Sati puasa terakhir, namun
pada waktu itu beliau hurus puasa awal, karena beliau sendiri yang melihat
hilal pada sorenya. Begitu juga juga saat menentukan awal syawal beliau kembali
diajak oleh Buya Aceh untuk melihat hilal dan kejadian semula kembali beliau lihat.
Sehingga selama tiga tahun berturut-turut selalu begitu dan akhirnya Buya Labai
Sati menghilangkan kebiasaan lama beliau yang pergi melihat hilal setelah orang
puasa, namun setelah kejadian itu beliau selalu meliahat hilal sebelum orang berpuasa.
Mereka berdua juga pernah pergi menemui Buya Sidi Talau di Pariaman
seorang ulama Syaktari, di sana mereka membahas suatu kajian tentang Khutbah.
Permasalahannya adalah mengenai khutbah bahasa Arab dan bahasa Indonesia,
menurut keterangan yang ada dalam kitab Mahalli[4]
mengatakan (لايكفي
بغير العربية) tidaklah syah selain dengan bahasa Arab. Namun walupun
begitu beberapa mkalimat setelah dituskan لايضر غير العربية في غير الاركان و. Sedangkan menurut Buya Labai Sati dan
Buya Aceh tujuan khutbah tersebut adalah menasehati jama’ah agar meningkatkan
ketaqwaan, apabila semuanya isi khutbah tersebut disampaikan dengan bahasa
Arab, dan tidak semua orang yang mengerti dengan bahasa Arab, sehingga tujuan
awal khutbah tersebut tidak tercapai. Maka atas pertimbangan mereka berdua,
mereka mengambil kesimpulan bahwa rukun khutbnah tersebut tetap harus bahasa
Arab,dan isinya boleh bahasa indonesia. Namun sebelum duduk antara dua khutbah
rukun Khutbah yang pertama juga harus diulang kembali, supaya ketika khutbah
dengan bahasa selain bahasa Arab yang tidak boleh menurut ulama Syafi’iyah juga
terikuti, karena ketika mengulang membaca rukun khutbah pertama tersebut maka
tidak ada lagi diselingi denga bahasa lain, maka khutbah menjadi utuh dengan bahasa Arab. Begitu hati-haitnya mereka dalam
mengambil hukum.
Namun walaupun mereka telah menjadi teman yang akrab, mereka tidak
menganggap kalau mereka adalah sahabat, mereka selalu menganggap guru antara
satu dengan yang lainnya. Karena menurut Buya Labai Sati Buya Acehlah gurunya,
sedangkan menurut Buya Aceh Buya Labai Satilah Gurunya.
2. Terdampar
di Pulau Dun-dun
Hari jum’at tahun 1968 ruangan tempat belajar santri Madrasah
Tarbiyah Islamiyah rusak parah karena dihantam angin yang sangat dahsat, waktu
itu adalah sebelum ujian kenaikan kelas.
Karena kondisi madrasah yang tidak memungkinkan lagi dan memerlukan
perbaikan total yang jelas membutuhkan dana yang lumayan besar, maka buya Labai
Sati berinisiatif untuk berangkat ke Aceh untuk mencari dana yang dibutuhkan
tersebut.
Setelah beberapa hari di Aceh beliau pun hendak kembali pulang ke
Padang Laweh, namu ketika sampai di pelabuhan kapal yang rencananya akan beliau
tumpangi rusak dan beliau sudah memiliki perasaan yang tidak enak, sehingga
beliau kembali turun dari kapal tersebut, nama kapal tersebut adalah KM.
KEMPERTISA.
Namun selang beberapa saat beliau pun dijemput oleh awak kapal dan
mengatakan bahwa kapal sudah selesai diperbaiki dan sudah bisa untuk berlayar.
Akhirnya beliau berangkat sore itu dengan tujuan Sumatera Barat.
Ketika kapal sudah sampai ditengah laut cuaca menjadi mendung,
selang beberapa saat hujan turun yang disertai dengan angin. karena KM.
Kempertisa bukanlah kapal yang besar sehingga kapal tersebut menjadi oleng.
Karena takut kapal akan tenggelam kapten kapal meminta kepada para penumpang
agar semua barang dibuang ke laut untuk mengurangi beban kapal. Karena cuaca
yang tidak juga membaik akhirnya kapal tersebut terdampar disebuah pulau karang
yang bernama pulau Dun-dun.
Tetapi disaat itulah terjadi keajaiban dimana setiap kali mereka
merasa lapar menepilah ikan-ikan yang dengan mudah mereka tangkap, lalu
ikan-ikan itulah yang mereka bakar dan mereka makan selama satu minggu mereka
di sana.
Karena mereka sudah merasa resah maka sang kapten bertanya kepada
Buya Labai Sati, lalu pada jam 10.00 malam Buya melaksanakan sholat istikarah.
Setelah beliau sholat istikarah beliau mengatakan bahwa akan datang
bantuan sebuah kapal besar yang bagus
kepada kapten tersebut.
Besok paginya mereka melihat sebuah titik hitam kecil di tengah
laut, pada jam 07.00 beliau kembali melaksanakan sholat istikarah sekali lagi,
setelah sholat beliau mengatakan bahwa bantuan akan datang, namun setelah
sampai jam 12.00 titik tersebut belum berubah atau bergerak juga, sehingga para
penumpang yang lain mencemoohkan beliau. Beberapa saat setelah itu, barulah
titik tersebut mendekat dan berubah bentuk menjadi sebuah kapal besar yang
bernama kapal LENGKENG.
Setelah kapal besar tersebut menepi dan mereka naik kepal tesebut,
lalu mereka bertanya kepada awak kapal Lengkeng ini, ternyata kapal ini dari
Jakarta hendak pergi Sibolga, lalu awak kapal Lengkeng ini melihat ada sebuah
bendera merah yang mengapung, ketika mereka ingin mengambilnya mereka mengalami
kesusahan, karena bendera tersebut diapit oleh dua buah drum dan selalu
didorong oleh arus kapal sehingga mereka susah untuk mengaambilnya, hal inilah
yang menyebabkan mereka lama ditengah laut yang dilihat oleh para penumpang
yang terdampar bersama buya Labai Sati tadi. Ketika mereka mendapatkan bendera
itu mereka menemukan sebuah tulisan di bagian bawah bendera itu yang mengatakan
“Kempertisa terdampar di pulau Dun-dun,” dan di bawahnya tertulis kata “TOLONG.!!!!”.[5]
Setelah sampai di Sibolga beliau disambut dan diinapkan di sebuah
hotel untuk beristirahat karena sudah satu minggu terdampar di pulan Dun-dun.
Dan akhirnya buya kembali ke kampung halaman Padang laweh dengan selamat,
tetapi pada saat beliau sampai di Padang Laweh, beliau hanya menggunakan
celana, jas dan sorban yang beliau kenakan, karena barang beliau yang disuruh
lemparkan ke laut oleh kapten kapal kempertisa itu tidak bisa diselamatkan
lagi.[6]
3. Mendapatkan
mursyid ditarekat Naqsabandiyah
Syekh Zakaria atau lebih kita kenal dengan nama Buya Labai Sati
mendapat atau mencapai derajat mursyid ditarekat Naqsabandi adalah di daerah
Pulau Gadang.
Pada awalnya beliau tidak hendak menuntut ilmu tarekat ke daerah
itu, karena pada saat beliau menyelesaikan studi beliau di Jaho, beliau ingin
merantau ke Malaya sebagaimana generasi muda Minangkabau lainnya, pada saat itu
beliau tidak seorang diri, karena beliau pergi bersama dengan teman beliau yang
bernama Tuangku Harun dari Sumagek Padang Laweh Malalo.
Namun sesampainya di tempat penyeberangan menuju daerah Malaya,
beliau mendapat berita dari Kapten kapal yang akan mereka tumpangi itu, bahwa
barang siapa yang mengembangkan Ilmu agama Islam untuk mencari uang, maka akan
langsung dimsukkan ke dalam penjara oleh Raja setempat. Namun apabila mengembangkan
ilmu agama tidak untuk mencari uang, maka akan diterima baik-baik oleh raja
Malaya tersebut.
Sehingga setelah mempertingbangkannya bersama dengan sahabat
beliau, mereka berdua akhirnya memutuskan untuk kembali saja ke kampung
halaman, karena perasaan beliau sudah merasa tidak enak lagi. Sebat tidak sumua
yang beliau pandang baik belum tentu dipandang baik pula oleh masyarakat
setempat.
Ketika beliau dan sahabatnya hendak kembali ke kampung Halaman,
mereka singgah terlebih dahulu di aderah Pulau Gadang yang pada saat itu ada
jama’ah yang sedang suluk, sehingga mereka memutuskan untuk ikut suluk terlebih
dahulu supaya perjalanan beliau tidak sia-sia.
Namun baru beberapa jam bergabung dengan jama’ah suluk, tuangku
Harun disuruh pulang oleh Mursyid, karena beliau melanggar suatu aturang suluk
tersebut, sehingga tinggallah Buya Labai sati di sana sendirian.setelah tiga
hari melaksanakan suluk, beliau disuruh pulang terlebih dahulu dan disuruh
kembali pada bulan haji di tahun itu oleh buya Pulau Gadang. Buya Pulau Gadang
merasa bahwa untuk tahap awal bagi beliau, karena buya Pulau Gadang melihat
ketekunan dari beliau. Lalu beliau mengikuti saran yang diberikan oleh Mursyid
beliau tesebut.
Setelah sampai dikampung halaman beliau kembali belajar di halaqah-halaqah
yang sudah ada pada waktu itu dan mengamalkan kajian tarikat yang beliau bisa.
Setelah sampai di bulan haji atau bulan dzulhijjah beliau kembali ke Pulau
Gadang untuk melakukan suluk untuk yang kedua kalinya, dan pada suluk yang
kedua inilah beliau mampu pada derajad Mursyid, sehingga beliau bisa mengembang
ilmu Tarekat Naqsabandiyah di daerah kelahiran beliau sendiri.
4. Keajaiban
saat Beliau meninggal dunia
Kisah
ini diceritakan oleh engku lasykar harun yang di dapatnya dari istri beliau yaitu
ibuk Nur ‘aini, anak buya zakariya sendiri, kata ibuk nur’aini buya zakariya
meninggal dua kali, dan buya Zakariyah meninggal bertepatan pada hari senin jam
4 dini hari 11 ramadhan 1349 H/8 oktober 1973 M dlm umur 75 th.
Ketila buya zakariya labai sati meminpin kegiatan suluk di padang
laweh, di mushallah beliau, kegiatan ini hampir setiap bulan ramadhan beliau
adakan, karna beliau seorang mursyid dalam Tarekat Naqsabandi yang bisa
memimpin dalam kegiatan tawajjuh (Taqarrub ilallah dengan cara berzikir) dalam
ajaran yariqat, dan memimpim di dalam suluk serta membai’at orang yang mau
masuk tareqat naqsabandi tersebut.
Disaat beliau akan meninggal dunia. Mula-mula terdengar bunyi geruh
di kerongkongan beliau oleh murid beliau engku labai orang Gunung Rajo yang
telah diangkat menjadi mursyid oleh buya, setelah bunyi itu hilang, dilihat dan
di raba buya oleh engku labai, ternyata buya telah tiada, pada waktu itu buya
berada di kamar beliau. dan diangkat buya keluar dan diletakkan di mihrab
musahllah serta di tutup beliau dengan kain panjang.
Tak lama kemudian beliau duduk sambil berkata kepada orang yang ada
didekat didekat beliau, untung saja beliau menyapa ketika duduk itu. Kalau
tidak mungkin melihat beliau duduk tanpa menyapa yang melihatnya pada kabur (sambil
tertawa engku lasykar bercerita), mendengar sapaan buya jama’a seluruhnya
mendekat, jama’ah suluk beserta jama’ah sholat empat puluh, buya bertanya
kepada mereka,”ada apa yang terjadi? Murid buya menjawab dan menceritakan
kejadiannya bahwasanya tadi waktu buya didalam kamar kami lihat buya sudah
tiada, lalu kami bawa buya kesini. Buya berkata” benar katamu lalu buya
menyuruh untuk memanggil keluarga beliau yaitu:
1. Gapuak
(kakak beliau)
2. Saunah
(istri beliau yang di Sumagek)
3. Jami’ah
(istri beliau yang di Padang Laweh)
4. Nur’aini
(anak beliau atau istri engku Lasykar harun)
5. Salamah
(istri beliau yang di Aceh)
Setelah keluarga buya datang, buya menceritakan kejadian yang
dialaminya ,bahwasanya tadi datang seseorang kepadaku dan berkata kepadaku”
disini buya rupanya, ayo berangkat kita lagi buya (kerahmatullah), ayolah
kataku, di dalam perjalanan, aku teringat belum berwasiat kepada orang yang ku
tinggalkan, dan sekarang aku berwasiat kapada kalian semua bahwasanya sekolah
yang aku dirikan ini toloong jangan kalian tingkalkan dalam arti tolong
hidupkan sekolah ini, dijaga dan di rawat.
Setelah itu buya bertanya kepada mereka “apa kalian sudah pahan
dengan maksudku, mereka menjawab” sudah buya, lalu buya menghembuskan nafasnya
yang terakhir, kata engku lasykar sendiri beliau beliau meninggal waktu itu
dalam keadaan tersenyum.
Dapat penulis pahami dari kisah keberangkatan buya zakariya ini
kerahmatullah yang begitu menabjubkan, itu semua karna amal kebaikan beliau
yang begitu indah di sisi Allah SWT, sehingga malaikat maut sendiri segan
kepada belia. Kalau bukan karna amal kebaikan beliau tak mungkin malaikat maut
tersebut menuruti permintaan beliau begitu saja tuk mengembalikan roh beliau
yang sudah terpisah dengan jasadnya mungkin ini suatu bukti dari firman Allah
Dan
hadis Rasulullah
Artinya:
siapa yang mengajak kepada kebaikan dia akan mendapatkan pahala, dan pahala
orang-orang yang mengikut kebaikan kebaikan tersebut (riwayat Muslim).
Itulah
yang selalu buya amalkan selama beliau hidup, belajar dan mengajarkan ilmu yang
beliau dapat kepada orang yang belum mengetahui,
4.
Sekeilas Tentag
Ustadzah Nuraini .Z
Ustadzah Nuraini adalah
anak kandung dari maulana syekh Zakaria Labai sati dari istri beliau yang pasar
malalo, dan ustadzah Nuraini memiliki dua orang saudara yaitu Syamsyidar dan
Hayatun Nufus. Z dan beliaulah anak tertua dari mereka semua. Beliau sendiri
dibesarkan juga dilingkunan Madrasah Tarbiyah Islamiyah, sebagaimana anak-anak
Buya Zakaria lannya.
Namun memilki satu
kelebihan, yaitu beliau merupakan orang yang mmilki otang yang sangat cerdas,
sehingga dengan mendengar doa-doa yang
dibacakan oleh ayah beliau, beliau sudah mampu mengingat doa tersebut.,
sehingga apabila Abuya tidak bisa mengaji dengan jamaah d surau tinggi,
beliaulah yang menggantikan Abuya dengan cara mengajarkan doa-doa yang telah
hafal oleh beliau tersebut. Begitu juga disaat jamaah bertanya kepada Abuya,
maka biasanya Abuya akan menyuruh jamaah untuk bertanya kepada beliau. Dan yang
sangat luar biasa itu, karena semua kegiatan ini beliau lakukan disaat beliau
belum masuk sekolah dasar (SD) atau SR.
Untuk dunia pendidikan,
sewaktu beliau kecil beliau belajar di MTI malalo terlebih dahulu baru beliau
masuk SR, sehingga ketika beliau di SR beliau sudah lancar baca tulis, yang
membuat hanya dalam empat tahun beliau
sudah ditamatkan dari SR pada saat itu. Setelah itu beliau kembali belajar MTI
malalo yang saat itu masih dipimpin oleh Syekh Zakaria Labai Sati yaitu ayah
kendung beliau sendiri.
Setelh tamat dari MTI
malalo, lalu beliau mengajar di MTI malalo itu juga. Beliau dinikahi oleh
seorang terntara yang bernama Ahmad Damnahuri yaitu orang Pasaman (kalau
sekarang di daerah Pasaman Barat) namun ayah dari bapak Ahmad Damnahuri ini
adalah orang Tanjug sawah Malalo yaitu Tuangku Abdullah Thaat. Namun setelah
beliau nikah lalu beliau dibawa oleh suaminya ke Medan, dan dari suaminya ini beliau
memilki empat orang anak, yaitu:
1.
Zulhelmi
2.
Rasyidah
3.
Rahimah
4.
Zulfahmi
Lalu karena satu dan
lain hal pada tahun 1965 beliau bercerai dengan suami beliau ini, kemudian
beliau kembali mengajar di MTI malalo. Dan pada tahun 1974 beliau kembali
menikah dengan maulana Engku Lasykar Harun. Dari pernikahan beliau yang kedua
ini beliau kembali dianugrahi tiga orang anak, yaitu:
1.
Fakhrizah
2.
Fakhriati
3.
Rimzatul
Fitriyah
Setelah beliau melahirkan anak beliau yang pertama
beliau jatuh sakit selama satu bulan 27 hari, ketika itu beliau sudah menjadi
pimpinan MTI malalo, dan ketika beliau sakit ini MTI malalo dipimpin oleh Engku
Syamsuardi. Dan setelah beliau sehat dari sakitnya kepemimpinan MTI malalo
dikembalikan ke tangan beliau.
MTI Malalo dimasa
kepemimpinan beliau
Dimasa kepemimpinan
beliau ada beberapa hal penting yag perlu kita ingat, diantaranya adalah:
1.
Pada tahun 1976
sampai 1986 MTI malalo sudah mengadakan KKN (ujian negri), yang saat itu untuk
tingkat tsanawiyah pergi ujian ke Batu Taba. Dan untuk tingkat Aliyah ke
Sungayang. Sehingga pada saat itu santri di MTI malalo sudah mendapat 2 ijazah,
yaitu satu ijazah negri dan satu lagi ijazah Madrasah. Namun pada periode ini,
beliau sangat kesulitan dalam masalah pendanaan, karena pada saat itu MTI
malalo tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah, sehingga konon katanya
disaat itu MTI malalo pernah tidak menggaji guru-gurunya selama satu tahun.
Namun semua guru-guru pada saat itu tidak pernah mempermasalahkannya, saya rasa
kerena rasa cinta mereka ke MTI malalo pada saat itu tidak bisa diukur dengan
uang, terbukti tanpa uang pun mereka masih tetap bekerja secara profesional,
mungkin karena pada saat itu semua guru rata-rata alumni MTI baik di malalo
atau MTI di daerah lainnya. Dan memang para alumni tarbiyah akan memilki rasa
cinta yang berbeda dengan orang yang tidak pernah bersekolah di tarbiyah ini
bahkan menurut saya tidak akan bisa di samakan.
2.
Selama masa
kepemimpinan beliau MTI pernah mendapat bantuan dari Guberur Sumatra Barat
sebanyak Rp 500.000, dan ketika itu atas kesepakan bersama dibangunlah sebuah
kantor yaitu kantor yang terletah
disebelah kantin (kafe) sekarang ini atau yang dijadikan perpustakaan pada saat
ini. Namun bantuan tersebut tidak bisa membangun sampai selesai, karena untuk
membeli atapnya uang sudah tidak ada lagi. Dan ketika berkat bantuan oleh bapak
Ardi yaitu suami dari ibu Hayatun Nufus bangunan tersebut bisa selesai dan bisa
dipakai pada saat itu sebagai kantor.
3.
Beliau juga aktif untuk berceramah ke
daerah-daerah yang bisa beliau jangkau, seperti daerah Pekandangan, Pariaman,
Solok dan beberapa daerah lainnya. Sehingga hal ini juga bisa membantu sekolah
dalam masalah pendanaan dan juga bisa mengekspos sekolah.
Namun dengan
berjalannya waktu, langkah beliau dalam memajukan sekolah harus terhenti yang
sekaligus menhentikan beliau untuk memperjuangkan agama Allah, karena tepat
pada sore rabu dibulan September tahun
1986 beliau menutup usia beliau, beliau meninggal di Rumah Sakit Imam A.
Mukhtar Bukit Tinggi. Begitulah perjuangan dari salah satu patriot perempuan
yang pernah dimiliki oleh Tarbiyah Islamiyah malalo.
5. H.
Thoharuddin, LS
Beliau besar bersama ayah
beliau di Pitalah, karena ayah dan ibu beliau bercerai, sehingga menuntut
beliau untuk ikut dengan ayah beliau ke Pitalah. Seperti anak lainnya di masa
itu beliau memulai pendidikan formalnya di SR sekitar tahun 1949 dan
melanjutkan ke MTI Jaho sampai duduk di kelas dua Tsanawiyah lalu beliau pindah
ke MTI (PPTI) malalo sekitar tahun
1957/1958 dan duduk di kelas dua Tsanawiyah juga.
Namun kaerena kecerdasan beliau, pada tahun
itu juga beliau dinaikan oleh Buya Labai Sati ke kelas 3, tidak beberapa bulan
di kelas tiga beliau juga di naikan lagi ke kelas 4. Pada tahun 1959 beliau
naik ke kelas 6, dan pada saat itu terjadi pergolakan PRRI (Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia), sehingga pada tahun 1960 beliau pergi belajar
ke Pesantren Nurul Yaqin Ringan-ringan bersama dengan sahabatnya angku Muis
Pakiah Sati, 3 bulan setelah itu juga menyusul sahabat beliau yang lainnya,
yaitu angklu Karis dan angku Labai Mudo.
Pada tahun 1961 beliau pergi
ke Aceh bersama Angku Muis Pakiah Sati dan belajar di sana. Dan ketika Buya
Labai Sati kembali ke Malalo pada awal tahun 1962 , sehingga pada hari rabu
tanggal 1 Syawal kegiatan belajar-mengajar di MTI malalo kembali di laksanakan
setelah sempat terhenti karena PRRI. Pada bulan Sa’ban-nya di MTI Malalo di
adakan perayaan penerian ijazah, dan bertepan sebelum perayaan tersebut Buya
Thoharuddin pulang dari aceh, sehingga beliau pun juga mendapat ijazah aliyah
pada perayaan tersebut. Pada bulan ramadhannya beliau bersama sahabatnya angku
Karim (tj. Barulak) dan angku Darus Salikin (Teluk Kuantan) pergi ke kayutaman
untuk kursus Ilnmu Mantiq bersama Buya Dt. Tumanggung.
Setelah Ramadhan mereka
kembali ke Malalo, dan mengajarpada 1963 sampai tahun 1965. Dalam karirnya
beliau juga sempat mengikuti latihan tentara atau latihan meliter di
Padang Panjang sekitar tahun 1963/1964,
pada saat itu beliau utusan dari PERTI, latihan tersebut beliau ikuti selama
satu bulan penuh. Beliau juga pernah mengikuti Pelatihan Kader FORMI PI PERTI
di Padang Panjang pada tahun 1965 selama 15 hari, ketika penutupan acara
terseburt bertepatan dengan G30SPKI, setelah beliau selesai mengikuti pelatihan
tersebut beliau kembali ke Malalo.
Beliau berkeluarga pada tahun
1964 dengan seorang gadis yang berasal dari Pitalah juga yang bernama Rosnomi
atau banyak juga orang panggil dengan panggilan kak Irai, dari istri beliau
ini, beliau dianugerahi 3 orang anak:
1. Habibullah
2. Habiburrahman
3. Nur
Namun ibu Rosnomi ini
meninggal ketika melahikan Nur anak beliau yang terakhir. Pada tahun 1969
beliau kembali menikah dengan ibu Ros, ibu Ros ini adalah orang dari Nagari
Guguak di Padang Pariaman, dan belliau kembali di anugerahi satu pasang anak
yang beliau beri nama:
1. Muhammad
Syukri
2. Mailul
Husni
Lalu beliau diminta untuk
mengajar di Panti Pasaman Barat , dan beliau mengajar di sana selama 14 tahun.
Dan beliau kembali menikah dengan midren adik dari istri beliau yang pertama
(ganti lapiak) dan dianugerahi seorang putri yang beliau beri nama Mabrur.
Putri beliau mabruru ini lahir ketika beliau pergi menunaikan ibadah haji pada
tahun 1986.
Setelah meninggalnya ibu
Nuraini (putrid kandung Buya Labai Sati) beliau di minta kembali ke Malalo
untuk menjadi pempinan di MTI Malalo. Dan ketika ditangan beliaulah nama MTI
malalo diubah menjadi Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah Malalo (PPTI Malalo).
Pada pertengahan tahun 1987 beliau mengajak angku Karim untuk tinggal di
Malalo, angku karim pun mengikuti ajakan neliau tersebut, sehingga pada saat
itu angku karim tinggal di Surau Tinggi.
Bersama angku Karim beliau
pernah mengikuti beberapa acara penting,
seperti MUNAS Organisasi Tarikat di Jakarta, yang acara pembukaannya
dilaksanakan di Taman Mini Indonesia dan dilanjutkan di Wisma Haji Pondok Gede
selama 15 hari pada tahun 1987, pada waktu itu mereka berdua menjadi utusan
Kota Madia Solok.
Dari segi ilmu tariqat,
beliau berguru kepada Buya Labai Sati dan beliau juga pernah suluk dengan Buya Kanis
Tuangku Tuah di simpang batu ampa daerah 50 Koto tepatnya di Pondok pesantren
Tarbiyah Islamiyah di sana.
Ketika beliau menjadi
Pimpinan di PPTI beliau tinggal di Surau Tinggi, pernah juga tinggal di rumah
penduduk di Padang Laweh dan juga pernah tinggal di kantor di sebelah kantin
(kafetaria) PPTI Malalo. Selama di tangan beliau sangat banyak perubahan di
PPTI Malalo, ditangan beliaulah di beli tanah di belakang sekolah dan didirikan
asraman sementara lalu ditunjuk angku karim sebagai ketua asramanya. Lalu
dibeli tanah yang pinggirdanau sebanyak tiga tahap, sesudah itu barulah
didirikan asrama dan mushallah permanen yang kita nikmati sekarang.
Sebelumnya pada tahun 1957
hanya ada 4 lokal yaitu di kantor desa yang ada di tengah-tengan desa padang
laweh, sehingga prosese belajar-mengajar harus dijadikan dua tahap, kelas 1,2
dan 3 harus belajar di sore hari karena ada saat itu kelas 3 ada dua local.dan
kelas 4,5,6 dan 7 yang belajar pagi. Pada tahun 1960 baru pindah tempat yang
kita pakai sekarang, murid pada saat itu mencapai 600 orang.
Beliau juga pernah menikah
dengan seorang guru di PPTI yang bernama Marina Amini pada tahun 2000, setelah
ibu Marina Amini meninggal beliau kembali menikah dengan istri beliau yang
terakhir yang bernama Hamidah pada tahun. Dan beliau meninggal pada sore kamis
19 Ramadhan 1432 H/ 19 agutus 2004 pada waktu magrib.
6.
Sekilas
tetang engku karim
Nama asli adalah Muhammad Karimuddin jamal, beliau
lahir pada tanggal 17 Agustus 1943 di sebuuah daerah yang tidak begitu jauh
deri kota padang panjang yaitu desa Tanjung Barulak Kecamatan Batipuah
Kabupaten Tanah Datar SUMBAR. Beliau dilahirkan dari pasangan Jamaluddin dan Mani. Namun semenjak kecil
beliau hanya dibesarkan oleh ibu belia Mani saja, karena sejak kecil beliau
sudah ditinggal oleh ayah beliau. Dari keluarga tersebut beliau mempunyai
beberapa orang saudara dan beliau adalah anak paling bungsu, di antara saudara
beliau tersebut adalah:
1. Rajab,
2. Rosna
3. Nur Siah
4. Bakhriyah
Dilihat dari perjalanan
beliau dalam dunia pendidikan, yang beliau mulai semenjak kecil beliau sudah
belajar baca tulis al-Qur’an, lalu beliau lanjutkan ke jenjang pendidikan
formal di Sekolah Rakyat (SR) pada tahun 1950 M, setelah selama enam tahun di
SR beliau tamat dan melanjutkan pendidikan beliau di Madrasah Tarbiyah
Islamiyah Malalo pada tahun 1956 M yang pada saat itu masih dipimpim oleh
pendiri Madrasah tersebut.
Namun baru manjalankan
pembelajaran selama dua tahun penuh, pada awal tahun ketiganya beliau proses
belajar mengajar harus dihentikan karena pergolakan PRRI, sehingga beliau harus
kembali ke kampung halaman untuk sementara waktu.
Kerena beliau merasa haus
dengan Ilmu agama dan beliau juga tidak bisa tenang tinggal di desa beliau
tanpa ada kegiatan belajarnya, sehingga beliau memutuskan untuk melanjutkan
studi beliau ke Pondok Pesantren Nurul Yaqin atau yang libih dikenal denga
sebutan ringan-ringan.
Setelah beberapa tahun di
Ringan-ringang dan pergolakan PRRI sudah mulai netral kembali, lalu beliau
memutuskan untuk kembali ke Madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo setelah
mendengar kabar bahwa Madrasah telah dibuka kembali oleh Abuya Syekh Zakarita
Labai Sati.
Namun baru enam bulan belajar
di kelas tujuh beliau sudah disuruh oleh abuya untuk menerima ijazah pada
perayaan penerimaan ijazah tahun 1962 bersama dengan para senior beliau yang
lainnya. Pada awalnya beliau tidak mau merima ijazah pada waktu itu itu, karena
beliau merasa belum pantas untuk menerima ijazah pada waktu tersebut. Namun
abuya tetap memberinya ijazah dengan alasan madrasah harus mengadakan acara
perayaan besar-besaran, dengan tujuan agar semua masyarakat mengetahui bahwa
Madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo telah dibuka
kembali.Setelah menerima ijazah beliau langsung mengajar di Madrasah
tersebut pada tahun 1962 itu juga.
Beliau berkeluarga pada tahun
1966 M, tepatnya pada tanggal 4 sa’ban. Beliau mempersunting seorang gadis yang
bernama Zaiyani binti H. Zainuddin yaitu seorang gadis yang berasal dari
tanjung barulak juga. Dari pasangan beliau ini beliau dikaruniai beberapa orang
anak, di antaranya:
1.
Khalilurrahman,
2.
Nurussa’adah
3.
Hasanah
Fiddaraini
4.
Huddiyat Mirabbi
5.
M Zal
Aidi, Zul Kifli
7.
Sekilas
tentang engku Lasykar Harun
Engku lasykar dilahirkan pada Tanggal 1 Januari 1942 di
Talau, Kenagarian. Kudu Ganting, Kec. 5 Koto Timur Kab. Padang Pariaman,
Sumatra Barat. Nama lengkap beliau adalah
Lasykar bin Harun bin Abu Bakar,
dan beliau dilahirkan dari rahim seorang ibu yang bernama Pik Intan bin Pakiah
Jaho. Beliau memilki beberapa saudara
baik yang seibu maupun yang seibu seayah, di antaranya:
Seibu :
a. Rustina
b. Caya
Karani
c. Burhanuddin
Seibu bapak :
a. Laskar
Harun
b. Lasmi
c. Bakri
d. Rajuddin
Istri beliau ada dua, istri
pertama beliau telah meninggal, dan sekarang beliau hidup dengan istri kedua
beliau,
Istri pertama bernama Nur’aini memeliki empat
orang anak yaitu
a. Fakhrija
b. Fakhriati
c. Rimzah
d. Fitriyah
Dari istri kedua beliau adalah Bainar dan memiliki
tiga orang anak yaitu:
a. Husnil
Mardhiyah
b. Zamratil
Khaira
c. Fadhilatul
Husni
Perjalanan Hidup Engku Lasykar Harun Menuntut Ilmu
Beliau memulai pendidikan
formal pada tahun 1960 di Sekolah Rakyat (SR), dan pada tahun 1956 tamat dari SR tersebut. Di tahun 1957 beliau melanjutkan
sekolah ke SMP sampai tahun 1959,
tapi karna pada waktu itu terjadi pergolakan PPRI di Sumatera
Tengah, akhirnya beliau menamatkan sekolahnya pada tahun 1960, setelah tamat
dari SMP beliau belum menyambung sekolahnya hanya membantu-bamtu orang tuanya
dirumah, maklum dengan keadan keluarga yang bisa dikatakan kurang bercukupan, namun sebagai orang tua
tentu tidak mau melihat anaknya putus sekolah, dan tergantung pendidikannya.
Dan orang tuanya bernisiatif
untuk menganjurkan engku Lasykat untuk
melanjutkan sekolahnya, dan diberitahukan kepada beliau dengan maksud orang tuanya tersebut, namun pada
waktu itu engku Lasykar sendiri hanya mau melanjutkan pendidikannya ke Pondok
Pesanteren Dinul Ma’ruf di Sungai Janiah. Orang tua beliaupun menyetujuinya, dan pada akhir tahun 1963 dibawahlah beliau
ke Pondok Pesantren di Sungai Janiah
tersebut.
Engku Lasykar menuntu Ilmu di Pondok tersebut bersama temannya yang
bernama Ramli ismail dan Abu Zahar,
kedua orang tersebut sudah tidak asing lagi bagi beliau, karena kedua temannya
tersebut orang kampung beliau juga. Namun sedang asyik-asyiknya belajar disana,
seorang guru yang sangat dekat dengan mereka pindah ke Malalo, sehingga hal
tersebut bembuat mereka kurang bersemangat untuk belajar, karena mereka sangat
senang belajar dengan guru tersebut yang mereka panggil guru tuo (guru tua),
namun nama aslinya adalah Zainal Abidin Tuangku Bagindo.
Engku lasykar berniat
mengikuti gurunya tersebut ke Malalo, namun beliau belum tau di mana itu daerah
Malalo. Ketika beliau berkumpul dengan teman-temannya, seorang dari teman yaitu
Abu Zahar mengusulkan untuk pergi saja ke Malalo, karena menurut ceritanya Abu
Zahar pernah pergi ke Malalo dan Katannya di Malalo banyak di pelajari berbagai
bidang ilmu tidak seperti di Pondok Pesantren di Sungai Janiah yang saat itu hanya
belajar satu bidang ilmu saja yaitu hanya Tafsir Jalalain saja,
tapi di Malalo di pelajari kitab-kitab penting lainnya, seperti Tauhid, Fiqih,
Tareh, Tashauf, Nahu dan Sharaf, Tafsir, Hadis, dan ilmu Mantiq serta Kitab-kitab
lainnya yang berhubungan dengan keagamaan.
Setelah mendengar cerita dari
temannya, engku Lasykar dan teman-tamannya ingin pindah dan menuntut ilmu
disana, dan mengadukan keinginan mereka kapada buya pimpinan Pondok Pesantren
Sungai Janiah yaitu buya Asirun Tuangku nan Panjang untuk mengabulkan keinginan
mereka pergi ke Malalo , namun buya tidak mengizinkan karna buya telah berjanji
kapada orang tua mereka agar nanti
setelah keluar mereka dari Pesantern itu bergelar tuangku, karna janji itu buya
pimpinan tidak mengizinkan mereka untuk pindah ke Malalo, namun akhirnya
pimpinan Pondok Pesantren tersebut terpaksa mengizinkan mereka untuk pindah ke
Malalo setelah mereka minta izin yang ke tiga kalinya bertepatan pada bulan
sa’ban.
Setelah mereka pergi dari
pesantren Su gai Janiah, engku Lasykar mintak izin kepada orang tuanya untuk
menuntut ilmu ke Malalo, pada awalnya orang tua beliau tidak menyetujuinya,
kerena keterbatasan biaya. tapi karna tekat
bulat dan keinginan engku Lasykar yang sangat kuat, beliau terus
membujuk orang tuanya untuk mengizinkannya dan beliau akan mencari biaya
sendiri untuk pergi ke Malalo. Dan akhirnya kedua orang tua beliau pun
mengizinkannya.
Setelah mendapat izin dari
orang tuanya, beliau menceritakan keinginannya kepada masyiarakat setempat,
kebetulan pada waktu itu akan memasuki bulan Ramadhan dan beliau menawarkan kepada masyiarakat untuk
menjadi imam di mushallah masyiarakat
setempat itu dengan syarat seluruh masyarakat itu mengeluarkan zakat fitrah
mereka dan seluruhnya berikan kepada beliau,
ternyata banyak masyiarakat yang mendukung keinginan beliau tersebut, dan pada
waktu itu beliau mendapatkan tiga karung beras dan beras tersebutlah yang
beliau jual untuk menjadi perbekalan beliau ke Malalo. Mulai dari pakaian sampai
dengan ongkos diperjalanan.
Bertepatan pada waktu PKI
sedang bergolak di Indonesia engku
Lasykar berangkat ke Malalo sesudah subuh
yaitu pada hari Minggu Tanggal 23 Pebruari tahun 1965,
dan ketika sampai di Malalo beliau turun di simpang mesjid Nurul Huda pas saat
mu’azin sedang mengumandangkan adzan maghrib.
Keeesokan harinya beliau langsung masuk sekolah, beliau langsung masuk sekolah
di kelas dua, karna waktu pembelajaran telah berlangsung setengah tahun, beliau
hanya setengah tahun duduk di kelas dua, lalu naik ke kelas tiga, dan pada
tahun 1966 beliau tamat dari kelas empat, lalu di lanjutkan ke tingkat aliyah tiga tahun, tahun 1969
beliau tamat dari kelas tujuh.
Dan di tahun itu beliau
temuilah buya Zakariyah Labai Sati
Pimpinan madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo bersama Orang tua beliau untuk meminta izin agar beliau bisa mengajar
di Madrasah tempat beliau menuntut ilmu tersebut, dan dengan senang hati Buya
Labai Sati pun menyambut permintaan beliau tersebut dengan antusias yang
tinggi. Dan akhirnya pada tanggal 2
januari 1970 enggku Lasykar mulai mengajar
di kelas dua sampai sekarang[7].
8.
Sekilas
Tentang Engku Izzuddin Dt, Panduko Nan Banso
Izzuddin adalah nama asli
yang diberikan oleh orang tua beliau sejak mula beliau dilahirkan, beliau
adalah anak kandung dari abuya Syekh Zakaria Labai Sati pendiri Madrasah
Tarbiyah Islamiyah Malalo (sekarang Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah Malalo)
dari pasangan buya yang bernama Jamiah. Beliau lahir pada tanggal 1 januari
tahun 1952 M di suatu desa yang sangat kental memakai ajaran Ahli Sunnah
Walja’ah yaitu daerah padang laweh Malalo.
Sejak kecil beliau sudah
ditempa untuk mendalami ilmu agama, karena beliau dibesarkan dilingkungan yang
sangat religius, sehingga sejak kecil beliau sudah bisa baca tulis al-Qur’an,
sedangkan pendidikan formal beliau,
diawali pada tahun 1958 di Sekolah Rakyat (SR), dan tamat pada tahun
1964. Setelah tamat dari SR beliau melanjutkan pendidikan beliau di Madrasah
Tarbiyah Islamiyah Malalo selama dua tahun, lalu beliau pindah ke pondok
Pesantren Nurul Yaqin atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ringan-ringan yang
pada saat itu dipimpin oleh Abuya Ali Imran. Pada dasarnya antara MTI Malalo
dengan pondok pesantren Nurul yaqin ini bisa dikatakan bersaudara, karena buya
Ali Imran juga pernah menutut ilmu di MTI Malalo dengan Buya Zakaria Labai
Sati.
Setelah lima tahun engku
datuk belajar di pondok Pesantren Nurul Yaqin beliau pun tamat dari kelas
tujuh. Beliau tamat pada tahun 1973. Lalu beliau kembali ke daerah kelahiran
beliau Padang Laweh pada tahun itu juga. Setelah beliau kembali ke padang laweh
beliau langsung mengajar di Madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo.
Dalam perjalanan karir beliau
dalam dunia pendidikan, seluruh umur beliau diserahkan untuk memperjuangkan
pendidikan agama Islam yang beliau lakukan di Pondok Pesantren Trbiyah
Islamiyah (dulu Madrasah Tarbiyah Islamiyah) Malalo yang telah didirikan oleh
ayah beliau Syekh Zakariya Labai Sati dulunya. Sehingga telap pada tanggal 4
dzulhijjah 1432 H/11 desembr 2010 beliau diresmikan menjadi pimpinan Pondok
Pesantreb tersebut untuk melanjutkan apa yang telah diperjuangkan oleh ayah
beliau dan Abuya syekh Taharuddin Labai Sutan.
Keluarga beliau sendiri juga
beliau bina di negeri kalahiran beliau sendiri, yaitu di daerah Padang Laweh
Malalo, beliau mempersunting seorang gadis yang bernama Wirda yang berasal juga dari Padang Laweh
Malalo. Dan dalam keluarga beliau hanya beristri satu orang, yang dari istri
beliau yang bernama Wirda tersebut beliau dikaruniai beberapa orang putra dan
putri yang bernama:
1. Himatul
Jannah
2. M.
Khairi
3. Khairul
Fahmi
4. Rahimatul
Ilmi
5. Radhiyatul
Mardhiyah
6. Dinatul
Islami
7. Hijjatul
Mabrur
8. Duratul
Husna
9. Nauratul
Hidayah
[1] Wawancara dengan engku Karim
[2] Syekh Muda Wali
adalah seorang ulama yang sangat terkenal di daerah Aceh karena kemampuannya
dalam ilmu agama, beliau berbadan tegab dan besar sehingga hal tersebut juga memperlihatkan kewibawaan
beliau. Konon katanya beliau sangat senang pergi ke daerah lain untuk menguji
ilmu yang telah beliau dapat (studi banding), bahkan beliau pernah pergi ke
daerah Jawa, seperti Jawa Timur , Bnten dll. Beliau pernah tinggal di lubuk
Bagalung padang dan mendirikan pesantren di sana. Tanya Angku Laskar Harun dan
angku Karim.
[3] Wawancara
dengan angku Laskar Harun pada hari sabtu,22 okt 2011, jam 15.00 WIB. Dan
wawancara dengan angku Karim hari minggu, 23 okt 2011, jam 11.00 WIB
[4] Kitab Mahalli, Syekh Jalaluddin
Al-Mahalli, jelid I, hal:278
[5] Pulau Dun-dun adalah sebuah pulau yang
terletak di daerah sumatera Utara, yang mendekati daerah Sibolga. kisah Buya Labai Sati terdampar di
pulau Dun-dun ini sebelumnya sudah
pernah ditulis oleh anak Buya sendiri yaitu …. Yang waktu itu ikut bersama Buya
pergi ke Aceh. Karena Menurut cerita yang penulis dengar Buya selalu
membawa menimal seorang teman ketika beliau bepergian termasuk ketika beliau
pergi memenuhi panggilan mengaji ke daerah-daerah lainnya. Tanya Angku Laskar
Harun, Angku Karim DAN Angku Izzuddin Dt. Panduko nan Banso.
[6]
Wawancara dengan Angku Laskar Harun pada
hari sabtu,22 okt 2011, jam 15.00 WIB
[7]
Wawancara dengan Engku lasykar pada hari
minggu tanggal 22 oktober 2011 jam 14.00 WIB - selesai