Sabtu, 10 November 2012

tokoh-tokoh tarbiyah islamiyah

-->
BAGIAN IV
BIOGRAFI
PARA PATRIOT
MADRASAH TARBIYAH ISLAMIAH
Mungkin banyak diantara saudara-saudara yang bertanya-tanya mengapa kami di sini memakai kata patriot, atau mungkin ada diantara saudara yang tidak setuju dengan kata-kata tersebut. Sebenarnya menurut kami hal tersebut tidak ada masalahnya, karna perbedaanlah kita bisa bisa jadi teguh dalam kehidupan ini.
Sebenarnya kami memakai kata petriot karna terinspirasi dari buku karangan Andrea Herata yang berjudul sebelas patriot. Disitu dia menceritakan tentang sebelas pesepak bola yang menurutnya adalah sebelas pahlawan bangsa, kalau dia mengatakan pesepak bola adalah pahlawan, jadi apa salahnya kalau ulama-ulama yang memperjuangkan Tarbiyah juga kita sebut dengan pahlawan bangsa bahkan Agama.
Demi memperluas pengetahuan kita tentang tarbiyah islamiyah. Maka ada baiknya bagi kita untuk mengetahui biografi dari para pendiri Madrasah Tarbiyah Islamiah, tapi kami tidak dapat menyajikan biografi mereka secara lengkap, karna kekurangan referensi yang kami temukan. Dan mari kita lihat satu persatu dari perjalanan mereka dalam menuntut ilmu agama.
1.     Syekh Sulaima Ar-Rasuli (Inyiak Canduang)
Di sini sangatlah pantas apabila kita terlebih dahulu membahas biografi dari seorang ulama sumatera barat yang sangat fenomenal di zamannya, bahkan apa yang beliau usahakan di zamannya tersebut masih bisa kita rasakan sampai saat sekarang ini, beliau adalah orang yang sangat berperan besar dalam perjuangan berdirinya  Madrasah Tarbiyah Islamiah  secara khusus dan organisasi Tarbiyah Islamiah  secara umumnya. Beliau ialah Syekh Sulaiman Ar-Rasuly.
 Syekh Sulaiman Ar-Rasuly dilahirkan di candung yaitu sebuah desa yang kurang lebih sekitar 8 KM sebelah timur kota bukittinggi, tepatnya di kaki gunung merapi sumatera barat. Panggilan populer beliau adalah inyiak canduang. Inyiak canduang dilahirkan oleh pasangan angku muhammad rasul dan siti buli’ah.
Dari bidang pengetahuan, beliau berguru kepada beberapa ulama yang ada di sumatera barat pada saat itu, diantara nya beliau berguru kepada :
·        Belajar di pesantren tuanku sami ilmiyah di baso
·        Syekh muhammad thaib umar di sungayang, batu sangkar
·        Syekh abdullah halaban
Setelah itu, pada tahun 1903 beliau berangkat ke tanah suci makkah mukarramah untuk menunaikan ibadah haji dan memperkaya lagi ilmu  pengetahuan agamanya dengan ulama-ulama yang terkenal di sana, seperti :
·        Syekh ahmad khatib al-minagkabawy
·        Syekh muchtar at-tharid
·        Syekh umar bajened
·        Syekh sayid abbas al-yamani
Setelah cukup lama beliau di makkah, maka bliau kembali ke ranah minang pada tahun 1907. Lalu beliau pun mengembangkan ilmu yang beliau dapat di tanah kelahiran beliau dengan cara membentuh halakah-halakah. Dan beliau juga ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan indonesia.
Beliau meninggal dunia pada tanggal 1 agustus 1970. Dan beliau masih meninggalkan sebuah madrasah yang masih berdiri hingga detik ini, yang kita kenal dengan MTI Canduang. Semoga limpahan rahmat dan karunia selalu dicurahkan Allah kepada beliau. Aamiin ya Rabb..!!!!!!














2.     Syekh muhammad jamil jaho (inyiak jaho)
Beliau dihirkan di suatu desa atau suatu daerah kecil yang terletak di daerah tambangan, padang pajang, sumatera barat, nama daerah kecil tersebut adalah nagari jaho, pada tahum 1875. Beliau dilahirkan oleh pasangan Datuk Garang (dari tambangan) dan Umbuik, seorang perempuan yang sangat di segani oleh masyarakat setempat pada masa itu.
Keluarga beliau adalah keluarga yang sangat relegius, sehingga latar belakang tersebut yang memdorong beliau untuk selalu mendalami ilmu agama, sehingga membuat beliau haus akan ilmu agama itu sendiri.
Beliau belajhar al-Qur’an langsung pada sang ayah, setelah beliau bisa baca tulis al-Qur’an, beliau pun belajar kitab-kitab perukunan (kitab-kitab arab melayu) jaga pada sang ayah. Di saat usianya mengijak 13 tahun, beliau sudah bisa menghafal al-Qur’an.
Setelah beliau hafal al-Qur’an, lalu ayahnya mulai mengajarkan kitab kuning (arab gundul) kepada beliau. Sehingga beliau pintar bahasa arab secara lisan maupun secara tulisan.
Selanjutnya beliau mulai belajar di halaqah-halaqah yang ada di daerahnya, yaitu di pesantren yang dibina oleh syekh al-Jufri dan beliau pun menjadi murid kesayangan oleh syekh al-Jufri tersebut.
Pada tahun 1893 M beliaua menyelesaikan belajar pada syekh al-Jufri dan melanjutkan ke seorang ulama fiqih terkenah di tanjung bungo  padang ganting yaitu syekh al-Ayyubi. Disinilah beliau kenal dengan syekh Sulaiman ar-Rasuly, dan beliaupun menjadi sahabat yang sangat dekat. Dan mereka belajar di sana selam 6 tahun. Lalu mereka berdua melanjutkan belajar ke biaro koto tuo. Tempat berkumpulnya para ulama-ulama besar pada saat itu.
Pada tahun 1899 mereka pun menyelesaikan belajar di sana dan melanjutkan menuntyut ilmu ke pada syekh Abdulla Halaban, yaitu seorang ulama yang sangat alim dibidang ilmu nfiqih dan ushul fiqih. Disinilah syekh muhammad jamil jaho atau inyiak jaho dipercayai menjadi seorang pengajar atau guru (ustadz). Beliau juga sering di ajak olek syekh Abdullah Halaban pergi ke pengajian-pengajian keliling sumatera barat oleh syekh Abdullah Halaban ini.
Pada tahun 1908 beliau berangkant ke makkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menambah ilmu pengetahuan beliau disana. Tetapi, sebelum beliau berangkat, beliau mempersunting seorang gadis yang berasal dari tambangan yang bernama Saidah. Dan dari istri beliau yang inilah beliau dianugerahi dua orang putri kelaknya yaitu, yang mereka beri nama samsiiah dan syafiah.
A.Ginanjar sebagaiman mengutip dari mukaddimah kita Tazdkirah al-kulub karangan iyiak jaho sendiri mengungkapkan bahwa saat di makkah beliau berguru kepada beberapa orang ulama, diantaranya:
·        Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawy
·        Syekh Abdul Karim Amrullah (ayah dari buya Hamka)
Beliaua belajar disana selama 10 tahun sehingga beliau menerima 3 ijazah dari tiga orang ulama di sana, yaitu:
·        Syekh Ahmad Khatib (guru fiqih mazhab syafi’i)
·        Syekh Alwi al-Mliki (guru fiqih mazhab Maliki)
·        Syekh Muchtar al-Affani (guru fiqih mazhab hambali)
Setelah beliau kembali ke kampung haamannya, beliau mempelopori berdirinya Persatuan Ulama Minangkabau dan perguruan Islam Thawalib pada tahun1922 bersama denga syekh Sulaiman ar-Rasuly dan syekh Abdul Karim Amrullah.
Seterusnya pada tahun 1924 beliau mendirikan surau dan membuat halaqah pengajian di kampung beliau, dan konon katanya halaqah inilah yang berkembang menjadi sebuah  madrasah yang kita kenal dengan MTI Jaho.
Inyiak jaho juga di kenal sebagai ulama yang berperan besar dalam kiprah muhammadiyah di ranah minang, bisa dikatakan hadirnya muhammadiyah di minang terkhusus di batipuah tidak terlepas dari kepedulian beliau dan syekh Muhammad Zain Simabur.
Tetapi keduanya mengundurkan diri dari kepengurusan organisasi ini pada saat kongres muhammadyah yang ke-16 di pekalongan pada tahun 1927. Alasannya  adalah  pada persoalan membuka peluang ijtihad dan menolak taqlid kepada pendapat ulama.
Karna beliau dan inyiak candung memang dikenal  ulama yang berdaham menolak pola ijtihat dan menerima bersikap taqlid kepada ulama-ulama terdahulu. Karna mereka mengikuti cara berfikir syekh Yusuf Nabhani yang anti dengan pemikiran Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani dan Rasyid Ridha
Sebelum beliau wafat pada tahun 1360 H/ 1941 M, beliau sempat menulis beberapa karya tulis, di antaranya:
·        Tazdkiratul qulub fil muraqabah ‘allamul ghuyub
·        Nujumul hidayah
·        As-syamsul lami’ah
·        Fil ‘aqidah wa diyanah
·        Hujjatul balighah
·        Al-maqalah ar-radhiyah
·        Kasyful awsiyah.


















3.     Syekh Zakaria al-Anshori Labai Sati
Syekh Zakaria al-Anshori Labai Sati adalah seorang ulama yang dilahirkan di malalo kecamatan Batipuah (sekarang Batipuh Selatan), Tanah Datar tepatnya di daerah padang laweh yang terletak kurang lebih satu kilo sebelum pasar Malalo tersebut, yang bertepatan pada tahun 1898 M.
Pada awalnya beliau hanya dikenal dengan panggilan buyuang dan orang luar malalo mengenalnya dengan nama buyuang malalo, walaupun  nama asli beliau adalah Zakaria.
Beliau mengawali pendidikannya di sekolah formal waktu itu dikenal dengan SR atau Sekolah Rakyat, setelah itu beliau pergi mengaji atau mendalami ilmu agama Islam ke Koto Baru Padang Pajang bersama dengan kakak beliau yang bernama Tuangku Dt. Pangulu Kayo (ayah dari tuangku Muhammad Yunus yang pernah menjadi pimpinan PPTI) dan mareka mendalami ilmu agama di daerah tersebut.
Lalu beliau melanjutkan pendidikan beliau kedaerah padang pajang lainnya yaitu daerah Jaho Tambangan, tetapi pada saat itu beliau sudah fashih membaca kitab sehingga beliau pun menjadi murid yang sangat pintar dan menjadi murid kesayangan sang Guru yaitu Syekh Muhammad Jamil Jaho.
Setelah cukup lama beliau menggali ilmu bersama Syekh Muhammad Jamil Jaho beliau pun kembali ke tanah kalahiran beliau untuk mengembangkan ilmu yang beliau dapat di tengah-tengah masyarakat. Sehingga tepat pada tahun 1930 beliau berinisiatif dan juga dukungan dari masyarakat setempat untuk mendirikan sebuah madrasah yang dikenal dengan Madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo (sekarang Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah Malalo).
Beliau memiliki beberapa orang istri dan beberapa orang anak, istri beliau yang pertama adalah Maimunah (almarhumah) dan dikarunia bebepara orang anak, yang kedua adalah Saunah di dua koto suatu daerah yang terletak di atas pasar Malalo dan memiliki 3 orang putri, 1) Nur’aini, 2) Syamsidar, dan 3) Hayatun Nufus.
Istri beliau yang ketiga adalah Jamiah di Padang Laweh   dan memilki 6 orang anak, 1) Izzuddin Dt. Panduko nan Banso (pimpinan pondok sekarang), 2) Mulkhair, 3) Habiburrahman, 4) Syhiruddin, 5) Nailus Sa’adah, dan 6) Azizatul Jannah
 istri beliau yang terakhir adalah Salamah yang berasal dari daerah Aceh dan dikarunia satu orang putri yang bernama Raudhatun Nur dan seoranga putra yang bernama Muhibbuttibri.
Pada tahun 1967 M beliau pergi menunaikan panggilan Allah ke Mekkah yang pada saat itu masih menggunakan kapal. Dalam perjalanan beliau itu beliau sempat singgah di Universitas yang sudah ada di Madinah al-Munawarah pada saat itu.[1]
Ada beberapa kisah menarik dalam kehidupan beliau yang pernah penulis dengan dan penulis rasa pantas untuk dituangkan ke dalam buku ini, diantaranya:
1.     Tambahan al-Anshari pada nama beliau
Konon ceritanya gelar al-Anshori yang ada di belakang nama beliau itu buan dari orang tua atau sanak keluarga beliauy, tetapi diberi oleh sahabat beliau sendiri yang bernama syekh Muda wali Aceh, atau yang lebih dikenal dengan sebutan buya Aceh[2].
Cerita ini diawali ketika buya Aceh datang ke Suamatera Barat dan mendatangi daerah-daerah Suamatera Barat yang terkenal tinggi ilmu agamanya, dan akhirnya buya Aceh sampai ke madrasah Tarbiyah  Islamiyah Jaho pada  tahun 1940-an.
Dimalam harinya buya Aceh berkumpul dengan para santri senior dan terjadi aksi tanya jawab yang cukup tegang antara Buya Aceh dengan para santri Tarbiyah Islamiyah Jaho sampai akhirnya ada satu pertanyaan Buya Aceh yang tidak bisa mereka jawab pada saat itu. Pertanyaan tersebut mengenai masalah yang ditemui oleh Buay Aceh dalam suatu kitab yang menerangkan bahwa “ketika hari raya ID jatuh pada hari jum’at dan orang sudah melakukan sholat ID, maka orang tersebut tidak perlu sholat jum’at lagi, cukup sholat Dzuhur saja”.
Pada pagi harinya inyiak Jaho mengirim sebuah surat pada Buya Labai Sati atau yang dikenal pada saat itu dengan nama Buyuang Malalo.setelah Buya Labai Sati menerima surat tersebut, lalu beliau brangkat dari Malalo, dan disore harinya Buya Labai Sati sampai di Tarbiyah Jaho, sesuada sholat ‘isya mereka kembali berkumpul  untuk kembali melanjutkan diskusi/perdebatan yang masih ditunda semajak kemaren malamnya. Dan pertanyaan Buya Aceh yang tidak bisa dijawab itu akhirnya bisa dijawab oleh Buya Labai Sati. Karna perdebatan itu sangat panjang sehingga semua santri Tarbiyah Jaho yang ada di ruangan itu tertidur.
Karena tidak ada yang bertanya lagi,maka Buya Labai Sati memberikan satu pertanyaan kepada Buya Aceh, karena hal inilah nama Buya Labai Sati menjadi Syejkh Zakaria al-Anshari yang langsung diberikan oleh Syekh Muda Wali sendiri[3].
Dan semenjak pertemuan itulah Buya Labai Sati dan Buya Aceh menjadi sahabat yang sangat dekat, sehingga suatu ketika ada orang dari Maninjau yang membatalkan kajian tarekat,  mereka berdualah yang diutus oleh Buya Jaho untuk meluruskan masalah yang dikemukakan oleh orang Maninjau tersebut.
Kebersamaan beliau dengan buya Aceh juga berdampak pada kebiasaan biliau yang akhirnya berubah karena buya Aceh ini yaitu dalam menentukan awal bulan ramadhan. Awalnya buya Labai Sati melaksanakan Puasa terakhir sebagaimana kebanyakan orang Malalo pada saat itu. Namun hal ini tidak pernah dibantah oleh Buaya Aceh, karena rasa toleransi (tasamuah) mereka antara satu dengan yang lainnya sangat tinggi yang sangat kental dalam konsep ahlussunnah wal jama’ah.
Suatu ketika akan memasuki bulan ramadhan Buya Aceh mengajak Buya Labai Sati untuk melihat hilal ke padang, sesampainya di indaruang Padang, ketika waktu matahari tenggelam, dan pada saat itu mereka berdua langsung melihat hilal sudah ada, sehingga keesokan harinya mereka berpuasa, padahal biasanya Buya Labai Sati puasa terakhir, namun pada waktu itu beliau hurus puasa awal, karena beliau sendiri yang melihat hilal pada sorenya. Begitu juga juga saat menentukan awal syawal beliau kembali diajak oleh Buya Aceh untuk melihat hilal dan kejadian semula kembali beliau lihat. Sehingga selama tiga tahun berturut-turut selalu begitu dan akhirnya Buya Labai Sati menghilangkan kebiasaan lama beliau yang pergi melihat hilal setelah orang puasa, namun setelah kejadian itu beliau selalu meliahat hilal sebelum orang berpuasa.
Mereka berdua juga pernah pergi menemui Buya Sidi Talau di Pariaman seorang ulama Syaktari, di sana mereka membahas suatu kajian tentang Khutbah. Permasalahannya adalah mengenai khutbah bahasa Arab dan bahasa Indonesia, menurut keterangan yang ada dalam kitab Mahalli[4] mengatakan (لايكفي بغير العربية) tidaklah syah selain dengan bahasa Arab. Namun walupun begitu beberapa mkalimat setelah dituskan لايضر غير العربية في غير الاركان و. Sedangkan menurut Buya Labai Sati dan Buya Aceh tujuan khutbah tersebut adalah menasehati jama’ah agar meningkatkan ketaqwaan, apabila semuanya isi khutbah tersebut disampaikan dengan bahasa Arab, dan tidak semua orang yang mengerti dengan bahasa Arab, sehingga tujuan awal khutbah tersebut tidak tercapai. Maka atas pertimbangan mereka berdua, mereka mengambil kesimpulan bahwa rukun khutbnah tersebut tetap harus bahasa Arab,dan isinya boleh bahasa indonesia. Namun sebelum duduk antara dua khutbah rukun Khutbah yang pertama juga harus diulang kembali, supaya ketika khutbah dengan bahasa selain bahasa Arab yang tidak boleh menurut ulama Syafi’iyah juga terikuti, karena ketika mengulang membaca rukun khutbah pertama tersebut maka tidak ada lagi diselingi denga bahasa lain, maka khutbah  menjadi utuh dengan  bahasa Arab. Begitu hati-haitnya mereka dalam mengambil hukum.
Namun walaupun mereka telah menjadi teman yang akrab, mereka tidak menganggap kalau mereka adalah sahabat, mereka selalu menganggap guru antara satu dengan yang lainnya. Karena menurut Buya Labai Sati Buya Acehlah gurunya, sedangkan menurut Buya Aceh Buya Labai Satilah Gurunya.

2.     Terdampar di Pulau Dun-dun
Hari jum’at tahun 1968 ruangan tempat belajar santri Madrasah Tarbiyah Islamiyah rusak parah karena dihantam angin yang sangat dahsat, waktu itu adalah sebelum ujian kenaikan kelas.
Karena kondisi madrasah yang tidak memungkinkan lagi dan memerlukan perbaikan total yang jelas membutuhkan dana yang lumayan besar, maka buya Labai Sati berinisiatif untuk berangkat ke Aceh untuk mencari dana yang dibutuhkan tersebut.
Setelah beberapa hari di Aceh beliau pun hendak kembali pulang ke Padang Laweh, namu ketika sampai di pelabuhan kapal yang rencananya akan beliau tumpangi rusak dan beliau sudah memiliki perasaan yang tidak enak, sehingga beliau kembali turun dari kapal tersebut, nama kapal tersebut adalah KM. KEMPERTISA.
Namun selang beberapa saat beliau pun dijemput oleh awak kapal dan mengatakan bahwa kapal sudah selesai diperbaiki dan sudah bisa untuk berlayar. Akhirnya beliau berangkat sore itu dengan tujuan Sumatera Barat.
Ketika kapal sudah sampai ditengah laut cuaca menjadi mendung, selang beberapa saat hujan turun yang disertai dengan angin. karena KM. Kempertisa bukanlah kapal yang besar sehingga kapal tersebut menjadi oleng. Karena takut kapal akan tenggelam kapten kapal meminta kepada para penumpang agar semua barang dibuang ke laut untuk mengurangi beban kapal. Karena cuaca yang tidak juga membaik akhirnya kapal tersebut terdampar disebuah pulau karang yang bernama pulau Dun-dun.
Tetapi disaat itulah terjadi keajaiban dimana setiap kali mereka merasa lapar menepilah ikan-ikan yang dengan mudah mereka tangkap, lalu ikan-ikan itulah yang mereka bakar dan mereka makan selama satu minggu mereka di sana.
Karena mereka sudah merasa resah maka sang kapten bertanya kepada Buya Labai Sati, lalu pada jam 10.00 malam Buya melaksanakan sholat istikarah. Setelah beliau sholat istikarah beliau mengatakan bahwa akan datang bantuan  sebuah kapal besar yang bagus kepada kapten tersebut.
Besok paginya mereka melihat sebuah titik hitam kecil di tengah laut, pada jam 07.00 beliau kembali melaksanakan sholat istikarah sekali lagi, setelah sholat beliau mengatakan bahwa bantuan akan datang, namun setelah sampai jam 12.00 titik tersebut belum berubah atau bergerak juga, sehingga para penumpang yang lain mencemoohkan beliau. Beberapa saat setelah itu, barulah titik tersebut mendekat dan berubah bentuk menjadi sebuah kapal besar yang bernama kapal LENGKENG.
Setelah kapal besar tersebut menepi dan mereka naik kepal tesebut, lalu mereka bertanya kepada awak kapal Lengkeng ini, ternyata kapal ini dari Jakarta hendak pergi Sibolga, lalu awak kapal Lengkeng ini melihat ada sebuah bendera merah yang mengapung, ketika mereka ingin mengambilnya mereka mengalami kesusahan, karena bendera tersebut diapit oleh dua buah drum dan selalu didorong oleh arus kapal sehingga mereka susah untuk mengaambilnya, hal inilah yang menyebabkan mereka lama ditengah laut yang dilihat oleh para penumpang yang terdampar bersama buya Labai Sati tadi. Ketika mereka mendapatkan bendera itu mereka menemukan sebuah tulisan di bagian bawah bendera itu yang mengatakan “Kempertisa terdampar di pulau Dun-dun,” dan di bawahnya tertulis kata  “TOLONG.!!!!”.[5]
Setelah sampai di Sibolga beliau disambut dan diinapkan di sebuah hotel untuk beristirahat karena sudah satu minggu terdampar di pulan Dun-dun. Dan akhirnya buya kembali ke kampung halaman Padang laweh dengan selamat, tetapi pada saat beliau sampai di Padang Laweh, beliau hanya menggunakan celana, jas dan sorban yang beliau kenakan, karena barang beliau yang disuruh lemparkan ke laut oleh kapten kapal kempertisa itu tidak bisa diselamatkan lagi.[6]
3.     Mendapatkan mursyid ditarekat Naqsabandiyah
Syekh Zakaria atau lebih kita kenal dengan nama Buya Labai Sati mendapat atau mencapai derajat mursyid ditarekat Naqsabandi adalah di daerah Pulau Gadang.
Pada awalnya beliau tidak hendak menuntut ilmu tarekat ke daerah itu, karena pada saat beliau menyelesaikan studi beliau di Jaho, beliau ingin merantau ke Malaya sebagaimana generasi muda Minangkabau lainnya, pada saat itu beliau tidak seorang diri, karena beliau pergi bersama dengan teman beliau yang bernama Tuangku Harun dari Sumagek Padang Laweh Malalo.
Namun sesampainya di tempat penyeberangan menuju daerah Malaya, beliau mendapat berita dari Kapten kapal yang akan mereka tumpangi itu, bahwa barang siapa yang mengembangkan Ilmu agama Islam untuk mencari uang, maka akan langsung dimsukkan ke dalam penjara oleh Raja setempat. Namun apabila mengembangkan ilmu agama tidak untuk mencari uang, maka akan diterima baik-baik oleh raja Malaya tersebut.
Sehingga setelah mempertingbangkannya bersama dengan sahabat beliau, mereka berdua akhirnya memutuskan untuk kembali saja ke kampung halaman, karena perasaan beliau sudah merasa tidak enak lagi. Sebat tidak sumua yang beliau pandang baik belum tentu dipandang baik pula oleh masyarakat setempat.
Ketika beliau dan sahabatnya hendak kembali ke kampung Halaman, mereka singgah terlebih dahulu di aderah Pulau Gadang yang pada saat itu ada jama’ah yang sedang suluk, sehingga mereka memutuskan untuk ikut suluk terlebih dahulu supaya perjalanan beliau tidak sia-sia.
Namun baru beberapa jam bergabung dengan jama’ah suluk, tuangku Harun disuruh pulang oleh Mursyid, karena beliau melanggar suatu aturang suluk tersebut, sehingga tinggallah Buya Labai sati di sana sendirian.setelah tiga hari melaksanakan suluk, beliau disuruh pulang terlebih dahulu dan disuruh kembali pada bulan haji di tahun itu oleh buya Pulau Gadang. Buya Pulau Gadang merasa bahwa untuk tahap awal bagi beliau, karena buya Pulau Gadang melihat ketekunan dari beliau. Lalu beliau mengikuti saran yang diberikan oleh Mursyid beliau tesebut.
Setelah sampai dikampung halaman beliau kembali belajar di halaqah-halaqah yang sudah ada pada waktu itu dan mengamalkan kajian tarikat yang beliau bisa. Setelah sampai di bulan haji atau bulan dzulhijjah beliau kembali ke Pulau Gadang untuk melakukan suluk untuk yang kedua kalinya, dan pada suluk yang kedua inilah beliau mampu pada derajad Mursyid, sehingga beliau bisa mengembang ilmu Tarekat Naqsabandiyah di daerah kelahiran beliau sendiri.

4.     Keajaiban saat Beliau meninggal dunia

Kisah ini diceritakan oleh engku lasykar harun yang di dapatnya dari istri beliau yaitu ibuk Nur ‘aini, anak buya zakariya sendiri, kata ibuk nur’aini buya zakariya meninggal dua kali, dan buya Zakariyah meninggal bertepatan pada hari senin jam 4 dini hari 11 ramadhan 1349 H/8 oktober 1973 M dlm umur 75 th.
Ketila buya zakariya labai sati meminpin kegiatan suluk di padang laweh, di mushallah beliau, kegiatan ini hampir setiap bulan ramadhan beliau adakan, karna beliau seorang mursyid dalam Tarekat Naqsabandi yang bisa memimpin dalam kegiatan tawajjuh (Taqarrub ilallah dengan cara berzikir) dalam ajaran yariqat, dan memimpim di dalam suluk serta membai’at orang yang mau masuk tareqat naqsabandi tersebut.
Disaat beliau akan meninggal dunia. Mula-mula terdengar bunyi geruh di kerongkongan beliau oleh murid beliau engku labai orang Gunung Rajo yang telah diangkat menjadi mursyid oleh buya, setelah bunyi itu hilang, dilihat dan di raba buya oleh engku labai, ternyata buya telah tiada, pada waktu itu buya berada di kamar beliau. dan diangkat buya keluar dan diletakkan di mihrab musahllah serta di tutup beliau dengan kain panjang.
Tak lama kemudian beliau duduk sambil berkata kepada orang yang ada didekat didekat beliau, untung saja beliau menyapa ketika duduk itu. Kalau tidak mungkin melihat beliau duduk tanpa menyapa yang melihatnya pada kabur (sambil tertawa engku lasykar bercerita), mendengar sapaan buya jama’a seluruhnya mendekat, jama’ah suluk beserta jama’ah sholat empat puluh, buya bertanya kepada mereka,”ada apa yang terjadi? Murid buya menjawab dan menceritakan kejadiannya bahwasanya tadi waktu buya didalam kamar kami lihat buya sudah tiada, lalu kami bawa buya kesini. Buya berkata” benar katamu lalu buya menyuruh untuk memanggil keluarga beliau yaitu:
1.     Gapuak (kakak beliau)
2.     Saunah (istri beliau yang di Sumagek)
3.     Jami’ah (istri beliau yang di Padang Laweh)
4.     Nur’aini (anak beliau atau istri engku Lasykar harun)
5.     Salamah (istri beliau yang di Aceh)
Setelah keluarga buya datang, buya menceritakan kejadian yang dialaminya ,bahwasanya tadi datang seseorang kepadaku dan berkata kepadaku” disini buya rupanya, ayo berangkat kita lagi buya (kerahmatullah), ayolah kataku, di dalam perjalanan, aku teringat belum berwasiat kepada orang yang ku tinggalkan, dan sekarang aku berwasiat kapada kalian semua bahwasanya sekolah yang aku dirikan ini toloong jangan kalian tingkalkan dalam arti tolong hidupkan sekolah ini, dijaga dan di rawat.
Setelah itu buya bertanya kepada mereka “apa kalian sudah pahan dengan maksudku, mereka menjawab” sudah buya, lalu buya menghembuskan nafasnya yang terakhir, kata engku lasykar sendiri beliau beliau meninggal waktu itu dalam keadaan tersenyum.
Dapat penulis pahami dari kisah keberangkatan buya zakariya ini kerahmatullah yang begitu menabjubkan, itu semua karna amal kebaikan beliau yang begitu indah di sisi Allah SWT, sehingga malaikat maut sendiri segan kepada belia. Kalau bukan karna amal kebaikan beliau tak mungkin malaikat maut tersebut menuruti permintaan beliau begitu saja tuk mengembalikan roh beliau yang sudah terpisah dengan jasadnya mungkin ini suatu bukti dari firman Allah







Dan hadis Rasulullah




Artinya: siapa yang mengajak kepada kebaikan dia akan mendapatkan pahala, dan pahala orang-orang yang mengikut kebaikan kebaikan tersebut (riwayat Muslim).
Itulah yang selalu buya amalkan selama beliau hidup, belajar dan mengajarkan ilmu yang beliau dapat kepada orang yang belum mengetahui,
    










4.     Sekeilas Tentag  Ustadzah Nuraini .Z
Ustadzah Nuraini adalah anak kandung dari maulana syekh Zakaria Labai sati dari istri beliau yang pasar malalo, dan ustadzah Nuraini memiliki dua orang saudara yaitu Syamsyidar dan Hayatun Nufus. Z dan beliaulah anak tertua dari mereka semua. Beliau sendiri dibesarkan juga dilingkunan Madrasah Tarbiyah Islamiyah, sebagaimana anak-anak Buya Zakaria lannya.
Namun memilki satu kelebihan, yaitu beliau merupakan orang yang mmilki otang yang sangat cerdas, sehingga dengan mendengar doa-doa  yang dibacakan oleh ayah beliau, beliau sudah mampu mengingat doa tersebut., sehingga apabila Abuya tidak bisa mengaji dengan jamaah d surau tinggi, beliaulah yang menggantikan Abuya dengan cara mengajarkan doa-doa yang telah hafal oleh beliau tersebut. Begitu juga disaat jamaah bertanya kepada Abuya, maka biasanya Abuya akan menyuruh jamaah untuk bertanya kepada beliau. Dan yang sangat luar biasa itu, karena semua kegiatan ini beliau lakukan disaat beliau belum masuk sekolah dasar (SD) atau SR.
Untuk dunia pendidikan, sewaktu beliau kecil beliau belajar di MTI malalo terlebih dahulu baru beliau masuk SR, sehingga ketika beliau di SR beliau sudah lancar baca tulis, yang membuat hanya dalam empat  tahun beliau sudah ditamatkan dari SR pada saat itu. Setelah itu beliau kembali belajar MTI malalo yang saat itu masih dipimpin oleh Syekh Zakaria Labai Sati yaitu ayah kendung beliau sendiri.
Setelh tamat dari MTI malalo, lalu beliau mengajar di MTI malalo itu juga. Beliau dinikahi oleh seorang terntara yang bernama Ahmad Damnahuri yaitu orang Pasaman (kalau sekarang di daerah Pasaman Barat) namun ayah dari bapak Ahmad Damnahuri ini adalah orang Tanjug sawah Malalo yaitu Tuangku Abdullah Thaat. Namun setelah beliau nikah lalu beliau dibawa oleh suaminya ke Medan, dan dari suaminya ini beliau memilki empat orang anak, yaitu:
1.     Zulhelmi
2.     Rasyidah
3.     Rahimah
4.     Zulfahmi
Lalu karena satu dan lain hal pada tahun 1965 beliau bercerai dengan suami beliau ini, kemudian beliau kembali mengajar di MTI malalo. Dan pada tahun 1974 beliau kembali menikah dengan maulana Engku Lasykar Harun. Dari pernikahan beliau yang kedua ini beliau kembali dianugrahi tiga orang anak, yaitu:
1.     Fakhrizah
2.     Fakhriati
3.     Rimzatul Fitriyah
Setelah  beliau melahirkan anak beliau yang pertama beliau jatuh sakit selama satu bulan 27 hari, ketika itu beliau sudah menjadi pimpinan MTI malalo, dan ketika beliau sakit ini MTI malalo dipimpin oleh Engku Syamsuardi. Dan setelah beliau sehat dari sakitnya kepemimpinan MTI malalo dikembalikan ke tangan beliau.
MTI Malalo dimasa kepemimpinan beliau
Dimasa kepemimpinan beliau ada beberapa hal penting yag perlu kita ingat, diantaranya adalah:
1.     Pada tahun 1976 sampai 1986 MTI malalo sudah mengadakan KKN (ujian negri), yang saat itu untuk tingkat tsanawiyah pergi ujian ke Batu Taba. Dan untuk tingkat Aliyah ke Sungayang. Sehingga pada saat itu santri di MTI malalo sudah mendapat 2 ijazah, yaitu satu ijazah negri dan satu lagi ijazah Madrasah. Namun pada periode ini, beliau sangat kesulitan dalam masalah pendanaan, karena pada saat itu MTI malalo tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah, sehingga konon katanya disaat itu MTI malalo pernah tidak menggaji guru-gurunya selama satu tahun. Namun semua guru-guru pada saat itu tidak pernah mempermasalahkannya, saya rasa kerena rasa cinta mereka ke MTI malalo pada saat itu tidak bisa diukur dengan uang, terbukti tanpa uang pun mereka masih tetap bekerja secara profesional, mungkin karena pada saat itu semua guru rata-rata alumni MTI baik di malalo atau MTI di daerah lainnya. Dan memang para alumni tarbiyah akan memilki rasa cinta yang berbeda dengan orang yang tidak pernah bersekolah di tarbiyah ini bahkan menurut saya tidak akan bisa di samakan.
2.     Selama masa kepemimpinan beliau MTI pernah mendapat bantuan dari Guberur Sumatra Barat sebanyak Rp 500.000, dan ketika itu atas kesepakan bersama dibangunlah sebuah kantor  yaitu kantor yang terletah disebelah kantin (kafe) sekarang ini atau yang dijadikan perpustakaan pada saat ini. Namun bantuan tersebut tidak bisa membangun sampai selesai, karena untuk membeli atapnya uang sudah tidak ada lagi. Dan ketika berkat bantuan oleh bapak Ardi yaitu suami dari ibu Hayatun Nufus bangunan tersebut bisa selesai dan bisa dipakai pada saat itu sebagai kantor.
3.      Beliau juga aktif untuk berceramah ke daerah-daerah yang bisa beliau jangkau, seperti daerah Pekandangan, Pariaman, Solok dan beberapa daerah lainnya. Sehingga hal ini juga bisa membantu sekolah dalam masalah pendanaan dan juga bisa mengekspos sekolah.
Namun dengan berjalannya waktu, langkah beliau dalam memajukan sekolah harus terhenti yang sekaligus menhentikan beliau untuk memperjuangkan agama Allah, karena tepat pada sore rabu dibulan September  tahun 1986 beliau menutup usia beliau, beliau meninggal di Rumah Sakit Imam A. Mukhtar Bukit Tinggi. Begitulah perjuangan dari salah satu patriot perempuan yang pernah dimiliki oleh Tarbiyah Islamiyah malalo.















5.     H. Thoharuddin, LS   
Beliau besar bersama ayah beliau di Pitalah, karena ayah dan ibu beliau bercerai, sehingga menuntut beliau untuk ikut dengan ayah beliau ke Pitalah. Seperti anak lainnya di masa itu beliau memulai pendidikan formalnya di SR sekitar tahun 1949 dan melanjutkan ke MTI Jaho sampai duduk di kelas dua Tsanawiyah lalu beliau pindah ke MTI (PPTI)  malalo sekitar  tahun  1957/1958 dan duduk di kelas dua Tsanawiyah juga.
 Namun kaerena kecerdasan beliau, pada tahun itu juga beliau dinaikan oleh Buya Labai Sati ke kelas 3, tidak beberapa bulan di kelas tiga beliau juga di naikan lagi ke kelas 4. Pada tahun 1959 beliau naik ke kelas 6, dan pada saat itu terjadi pergolakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), sehingga pada tahun 1960 beliau pergi belajar ke Pesantren Nurul Yaqin Ringan-ringan bersama dengan sahabatnya angku Muis Pakiah Sati, 3 bulan setelah itu juga menyusul sahabat beliau yang lainnya, yaitu angklu Karis dan angku Labai Mudo.
Pada tahun 1961 beliau pergi ke Aceh bersama Angku Muis Pakiah Sati dan belajar di sana. Dan ketika Buya Labai Sati kembali ke Malalo pada awal tahun 1962 , sehingga pada hari rabu tanggal 1 Syawal kegiatan belajar-mengajar di MTI malalo kembali di laksanakan setelah sempat terhenti karena PRRI. Pada bulan Sa’ban-nya di MTI Malalo di adakan perayaan penerian ijazah, dan bertepan sebelum perayaan tersebut Buya Thoharuddin pulang dari aceh, sehingga beliau pun juga mendapat ijazah aliyah pada perayaan tersebut. Pada bulan ramadhannya beliau bersama sahabatnya angku Karim (tj. Barulak) dan angku Darus Salikin (Teluk Kuantan) pergi ke kayutaman untuk kursus Ilnmu Mantiq bersama Buya Dt. Tumanggung.
Setelah Ramadhan mereka kembali ke Malalo, dan mengajarpada 1963 sampai tahun 1965. Dalam karirnya beliau juga sempat mengikuti latihan tentara atau latihan meliter di Padang  Panjang sekitar tahun 1963/1964, pada saat itu beliau utusan dari PERTI, latihan tersebut beliau ikuti selama satu bulan penuh. Beliau juga pernah mengikuti Pelatihan Kader FORMI PI PERTI di Padang Panjang pada tahun 1965 selama 15 hari, ketika penutupan acara terseburt bertepatan dengan G30SPKI, setelah beliau selesai mengikuti pelatihan tersebut beliau kembali ke Malalo.
Beliau berkeluarga pada tahun 1964 dengan seorang gadis yang berasal dari Pitalah juga yang bernama Rosnomi atau banyak juga orang panggil dengan panggilan kak Irai, dari istri beliau ini, beliau dianugerahi 3 orang anak:
1.     Habibullah
2.     Habiburrahman
3.     Nur
Namun ibu Rosnomi ini meninggal ketika melahikan Nur anak beliau yang terakhir. Pada tahun 1969 beliau kembali menikah dengan ibu Ros, ibu Ros ini adalah orang dari Nagari Guguak di Padang Pariaman, dan belliau kembali di anugerahi satu pasang anak yang beliau beri nama:
1.     Muhammad Syukri
2.     Mailul Husni
Lalu beliau diminta untuk mengajar di Panti Pasaman Barat , dan beliau mengajar di sana selama 14 tahun. Dan beliau kembali menikah dengan midren adik dari istri beliau yang pertama (ganti lapiak) dan dianugerahi seorang putri yang beliau beri nama Mabrur. Putri beliau mabruru ini lahir ketika beliau pergi menunaikan ibadah haji pada tahun 1986.
Setelah meninggalnya ibu Nuraini (putrid kandung Buya Labai Sati) beliau di minta kembali ke Malalo untuk menjadi pempinan di MTI Malalo. Dan ketika ditangan beliaulah nama MTI malalo diubah menjadi Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah Malalo (PPTI Malalo). Pada pertengahan tahun 1987 beliau mengajak angku Karim untuk tinggal di Malalo, angku karim pun mengikuti ajakan neliau tersebut, sehingga pada saat itu angku karim tinggal di Surau Tinggi.
Bersama angku Karim beliau pernah  mengikuti beberapa acara penting, seperti MUNAS Organisasi Tarikat di Jakarta, yang acara pembukaannya dilaksanakan di Taman Mini Indonesia dan dilanjutkan di Wisma Haji Pondok Gede selama 15 hari pada tahun 1987, pada waktu itu mereka berdua menjadi utusan Kota Madia Solok.
Dari segi ilmu tariqat, beliau berguru kepada Buya Labai Sati dan beliau juga pernah suluk dengan Buya Kanis Tuangku Tuah di simpang batu ampa daerah 50 Koto tepatnya di Pondok pesantren Tarbiyah Islamiyah di sana.
Ketika beliau menjadi Pimpinan di PPTI beliau tinggal di Surau Tinggi, pernah juga tinggal di rumah penduduk di Padang Laweh dan juga pernah tinggal di kantor di sebelah kantin (kafetaria) PPTI Malalo. Selama di tangan beliau sangat banyak perubahan di PPTI Malalo, ditangan beliaulah di beli tanah di belakang sekolah dan didirikan asraman sementara lalu ditunjuk angku karim sebagai ketua asramanya. Lalu dibeli tanah yang pinggirdanau sebanyak tiga tahap, sesudah itu barulah didirikan asrama dan mushallah permanen yang kita nikmati sekarang. 
Sebelumnya pada tahun 1957 hanya ada 4 lokal yaitu di kantor desa yang ada di tengah-tengan desa padang laweh, sehingga prosese belajar-mengajar harus dijadikan dua tahap, kelas 1,2 dan 3 harus belajar di sore hari karena ada saat itu kelas 3 ada dua local.dan kelas 4,5,6 dan 7 yang belajar pagi. Pada tahun 1960 baru pindah tempat yang kita pakai sekarang, murid pada saat itu mencapai 600 orang.
Beliau juga pernah menikah dengan seorang guru di PPTI yang bernama Marina Amini pada tahun 2000, setelah ibu Marina Amini meninggal beliau kembali menikah dengan istri beliau yang terakhir yang bernama Hamidah pada tahun. Dan beliau meninggal pada sore kamis 19 Ramadhan 1432 H/ 19 agutus 2004 pada waktu magrib.














6.     Sekilas tetang engku karim
Nama asli        adalah Muhammad Karimuddin jamal, beliau lahir pada tanggal 17 Agustus 1943 di sebuuah daerah yang tidak begitu jauh deri kota padang panjang yaitu desa Tanjung Barulak Kecamatan Batipuah Kabupaten Tanah Datar SUMBAR. Beliau dilahirkan dari pasangan     Jamaluddin dan Mani. Namun semenjak kecil beliau hanya dibesarkan oleh ibu belia Mani saja, karena sejak kecil beliau sudah ditinggal oleh ayah beliau. Dari keluarga tersebut beliau mempunyai beberapa orang saudara dan beliau adalah anak paling bungsu, di antara saudara beliau tersebut adalah:
1.      Rajab,
2.      Rosna
3.     Nur Siah
4.     Bakhriyah
Dilihat dari perjalanan beliau dalam dunia pendidikan, yang beliau mulai semenjak kecil beliau sudah belajar baca tulis al-Qur’an, lalu beliau lanjutkan ke jenjang pendidikan formal di Sekolah Rakyat (SR) pada tahun 1950 M, setelah selama enam tahun di SR beliau tamat dan melanjutkan pendidikan beliau di Madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo pada tahun 1956 M yang pada saat itu masih dipimpim oleh pendiri Madrasah tersebut.
Namun baru manjalankan pembelajaran selama dua tahun penuh, pada awal tahun ketiganya beliau proses belajar mengajar harus dihentikan karena pergolakan PRRI, sehingga beliau harus kembali ke kampung halaman untuk sementara waktu.
Kerena beliau merasa haus dengan Ilmu agama dan beliau juga tidak bisa tenang tinggal di desa beliau tanpa ada kegiatan belajarnya, sehingga beliau memutuskan untuk melanjutkan studi beliau ke Pondok Pesantren Nurul Yaqin atau yang libih dikenal denga sebutan ringan-ringan.
Setelah beberapa tahun di Ringan-ringang dan pergolakan PRRI sudah mulai netral kembali, lalu beliau memutuskan untuk kembali ke Madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo setelah mendengar kabar bahwa Madrasah telah dibuka kembali oleh Abuya Syekh Zakarita Labai Sati.
Namun baru enam bulan belajar di kelas tujuh beliau sudah disuruh oleh abuya untuk menerima ijazah pada perayaan penerimaan ijazah tahun 1962 bersama dengan para senior beliau yang lainnya. Pada awalnya beliau tidak mau merima ijazah pada waktu itu itu, karena beliau merasa belum pantas untuk menerima ijazah pada waktu tersebut. Namun abuya tetap memberinya ijazah dengan alasan madrasah harus mengadakan acara perayaan besar-besaran, dengan tujuan agar semua masyarakat mengetahui bahwa Madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo telah dibuka  kembali.Setelah menerima ijazah beliau langsung mengajar di Madrasah tersebut pada tahun 1962 itu juga.
Beliau berkeluarga pada tahun 1966 M, tepatnya pada tanggal 4 sa’ban. Beliau mempersunting seorang gadis yang bernama Zaiyani binti H. Zainuddin yaitu seorang gadis yang berasal dari tanjung barulak juga. Dari pasangan beliau ini beliau dikaruniai beberapa orang anak, di antaranya:
1.                 Khalilurrahman,
2.                 Nurussa’adah
3.                  Hasanah Fiddaraini
4.                 Huddiyat Mirabbi
5.                  M Zal Aidi, Zul Kifli























7.     Sekilas tentang engku Lasykar Harun
Engku lasykar  dilahirkan pada Tanggal 1 Januari 1942 di Talau, Kenagarian. Kudu Ganting, Kec. 5 Koto Timur Kab. Padang Pariaman, Sumatra Barat. Nama lengkap beliau adalah  Lasykar  bin Harun bin Abu Bakar, dan beliau dilahirkan dari rahim seorang ibu yang bernama Pik Intan bin Pakiah Jaho.  Beliau memilki beberapa saudara baik yang seibu maupun yang seibu seayah, di antaranya:
Seibu :
a.      Rustina
b.     Caya Karani
c.      Burhanuddin
Seibu bapak :
a.     Laskar Harun
b.     Lasmi
c.      Bakri
d.     Rajuddin
Istri beliau ada dua, istri pertama beliau telah meninggal, dan sekarang beliau hidup dengan istri kedua beliau,
Istri pertama bernama Nur’aini memeliki empat orang anak yaitu
a.     Fakhrija
b.     Fakhriati
c.      Rimzah
d.     Fitriyah

Dari istri kedua beliau adalah Bainar dan memiliki tiga orang anak yaitu:
a.     Husnil Mardhiyah
b.     Zamratil Khaira
c.      Fadhilatul Husni
Perjalanan  Hidup Engku Lasykar Harun Menuntut Ilmu
Beliau memulai pendidikan formal pada tahun 1960 di Sekolah Rakyat (SR), dan  pada tahun 1956 tamat dari  SR tersebut. Di tahun 1957 beliau melanjutkan sekolah  ke SMP sampai tahun 1959, tapi  karna pada waktu  itu terjadi pergolakan PPRI di Sumatera Tengah, akhirnya beliau menamatkan sekolahnya pada tahun 1960, setelah tamat dari SMP beliau belum menyambung sekolahnya hanya membantu-bamtu orang tuanya dirumah, maklum dengan keadan keluarga yang bisa dikatakan  kurang bercukupan, namun sebagai orang tua tentu tidak mau melihat anaknya putus sekolah, dan tergantung pendidikannya.
Dan orang tuanya bernisiatif untuk menganjurkan  engku Lasykat untuk melanjutkan sekolahnya, dan diberitahukan kepada beliau dengan  maksud orang tuanya tersebut, namun pada waktu itu engku Lasykar sendiri hanya mau melanjutkan pendidikannya ke Pondok Pesanteren Dinul Ma’ruf di Sungai Janiah. Orang tua beliaupun  menyetujuinya, dan  pada akhir tahun 1963 dibawahlah beliau ke  Pondok Pesantren di Sungai Janiah tersebut.
     Engku Lasykar menuntu Ilmu di Pondok tersebut bersama temannya yang bernama  Ramli ismail dan Abu Zahar, kedua orang tersebut sudah tidak asing lagi bagi beliau, karena kedua temannya tersebut orang kampung beliau juga.  Namun sedang asyik-asyiknya belajar disana, seorang guru yang sangat dekat dengan mereka pindah ke Malalo, sehingga hal tersebut bembuat mereka kurang bersemangat untuk belajar, karena mereka sangat senang belajar dengan guru tersebut yang mereka panggil guru tuo (guru tua), namun nama aslinya adalah Zainal Abidin Tuangku Bagindo.
Engku lasykar berniat mengikuti gurunya tersebut ke Malalo, namun beliau belum tau di mana itu daerah Malalo. Ketika beliau berkumpul dengan teman-temannya, seorang dari teman yaitu Abu Zahar mengusulkan untuk pergi saja ke Malalo, karena menurut ceritanya Abu Zahar pernah pergi ke Malalo dan Katannya di Malalo banyak di pelajari berbagai bidang ilmu tidak seperti di Pondok Pesantren di Sungai Janiah yang saat  itu  hanya belajar  satu  bidang  ilmu saja yaitu hanya Tafsir Jalalain saja, tapi di Malalo di pelajari kitab-kitab penting lainnya, seperti Tauhid, Fiqih, Tareh, Tashauf, Nahu dan Sharaf, Tafsir, Hadis, dan ilmu Mantiq serta Kitab-kitab lainnya yang berhubungan dengan keagamaan.
Setelah mendengar cerita dari temannya, engku Lasykar dan teman-tamannya ingin pindah dan menuntut ilmu disana, dan mengadukan keinginan mereka kapada buya pimpinan Pondok Pesantren Sungai Janiah yaitu buya Asirun Tuangku nan Panjang untuk mengabulkan keinginan mereka pergi ke Malalo , namun buya tidak mengizinkan karna buya telah berjanji kapada orang tua  mereka agar nanti setelah keluar mereka dari Pesantern itu bergelar tuangku, karna janji itu buya pimpinan tidak mengizinkan mereka untuk pindah ke Malalo, namun akhirnya pimpinan Pondok Pesantren tersebut  terpaksa mengizinkan mereka untuk pindah ke Malalo setelah mereka minta izin yang ke tiga kalinya bertepatan pada bulan sa’ban.
Setelah mereka pergi dari pesantren Su gai Janiah, engku Lasykar mintak izin kepada orang tuanya untuk menuntut ilmu ke Malalo, pada awalnya orang tua beliau tidak menyetujuinya, kerena keterbatasan biaya. tapi karna tekat  bulat dan keinginan engku Lasykar yang sangat kuat, beliau terus membujuk orang tuanya untuk mengizinkannya dan beliau akan mencari biaya sendiri untuk pergi ke Malalo. Dan akhirnya kedua orang tua beliau pun mengizinkannya.
Setelah mendapat izin dari orang tuanya, beliau menceritakan keinginannya kepada masyiarakat setempat, kebetulan pada waktu itu akan memasuki bulan Ramadhan dan  beliau menawarkan kepada masyiarakat untuk menjadi imam di  mushallah masyiarakat setempat itu dengan syarat seluruh masyarakat itu mengeluarkan zakat fitrah mereka dan seluruhnya  berikan kepada beliau, ternyata banyak masyiarakat yang mendukung keinginan beliau tersebut, dan pada waktu itu beliau mendapatkan tiga karung beras dan beras tersebutlah yang beliau jual untuk menjadi perbekalan beliau ke Malalo. Mulai dari pakaian sampai dengan ongkos diperjalanan.
Bertepatan pada waktu PKI sedang bergolak di Indonesia  engku Lasykar berangkat ke Malalo sesudah subuh  yaitu  pada  hari Minggu Tanggal 23 Pebruari tahun 1965, dan ketika sampai di Malalo beliau turun di simpang mesjid Nurul Huda pas saat mu’azin sedang mengumandangkan adzan  maghrib. Keeesokan harinya beliau langsung masuk sekolah, beliau langsung masuk sekolah di kelas dua, karna waktu pembelajaran telah berlangsung setengah tahun, beliau hanya setengah tahun duduk di kelas dua, lalu naik ke kelas tiga, dan pada tahun 1966 beliau tamat dari kelas empat, lalu di lanjutkan  ke tingkat aliyah tiga tahun, tahun 1969 beliau tamat dari kelas tujuh.
Dan di tahun itu beliau temuilah buya Zakariyah Labai Sati  Pimpinan madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo bersama Orang tua beliau  untuk meminta izin agar beliau bisa mengajar di Madrasah tempat beliau menuntut ilmu tersebut, dan dengan senang hati Buya Labai Sati pun menyambut permintaan beliau tersebut dengan antusias yang tinggi. Dan akhirnya  pada tanggal 2 januari 1970  enggku Lasykar mulai mengajar di kelas dua sampai sekarang[7].
         
                  













8.     Sekilas Tentang Engku Izzuddin Dt, Panduko Nan Banso
Izzuddin adalah nama asli yang diberikan oleh orang tua beliau sejak mula beliau dilahirkan, beliau adalah anak kandung dari abuya Syekh Zakaria Labai Sati pendiri Madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo (sekarang Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah Malalo) dari pasangan buya yang bernama Jamiah. Beliau lahir pada tanggal 1 januari tahun 1952 M di suatu desa yang sangat kental memakai ajaran Ahli Sunnah Walja’ah yaitu daerah padang laweh Malalo.
Sejak kecil beliau sudah ditempa untuk mendalami ilmu agama, karena beliau dibesarkan dilingkungan yang sangat religius, sehingga sejak kecil beliau sudah bisa baca tulis al-Qur’an, sedangkan pendidikan formal beliau,  diawali pada tahun 1958 di Sekolah Rakyat (SR), dan tamat pada tahun 1964. Setelah tamat dari SR beliau melanjutkan pendidikan beliau di Madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo selama dua tahun, lalu beliau pindah ke pondok Pesantren Nurul Yaqin atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ringan-ringan yang pada saat itu dipimpin oleh Abuya Ali Imran. Pada dasarnya antara MTI Malalo dengan pondok pesantren Nurul yaqin ini bisa dikatakan bersaudara, karena buya Ali Imran juga pernah menutut ilmu di MTI Malalo dengan Buya Zakaria Labai Sati.
Setelah lima tahun engku datuk belajar di pondok Pesantren Nurul Yaqin beliau pun tamat dari kelas tujuh. Beliau tamat pada tahun 1973. Lalu beliau kembali ke daerah kelahiran beliau Padang Laweh pada tahun itu juga. Setelah beliau kembali ke padang laweh beliau langsung mengajar di Madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo.
Dalam perjalanan karir beliau dalam dunia pendidikan, seluruh umur beliau diserahkan untuk memperjuangkan pendidikan agama Islam yang beliau lakukan di Pondok Pesantren Trbiyah Islamiyah (dulu Madrasah Tarbiyah Islamiyah) Malalo yang telah didirikan oleh ayah beliau Syekh Zakariya Labai Sati dulunya. Sehingga telap pada tanggal 4 dzulhijjah 1432 H/11 desembr 2010 beliau diresmikan menjadi pimpinan Pondok Pesantreb tersebut untuk melanjutkan apa yang telah diperjuangkan oleh ayah beliau dan Abuya syekh Taharuddin Labai Sutan.
Keluarga beliau sendiri juga beliau bina di negeri kalahiran beliau sendiri, yaitu di daerah Padang Laweh Malalo, beliau mempersunting seorang gadis yang bernama  Wirda yang berasal juga dari Padang Laweh Malalo. Dan dalam keluarga beliau hanya beristri satu orang, yang dari istri beliau yang bernama Wirda tersebut beliau dikaruniai beberapa orang putra dan putri yang bernama:
1.     Himatul Jannah
2.     M. Khairi
3.     Khairul Fahmi
4.     Rahimatul Ilmi
5.     Radhiyatul Mardhiyah
6.     Dinatul Islami
7.     Hijjatul Mabrur
8.     Duratul Husna
9.     Nauratul Hidayah
           





[1]  Wawancara dengan engku Karim
[2] Syekh Muda Wali adalah seorang ulama yang sangat terkenal di daerah Aceh karena kemampuannya dalam ilmu agama, beliau berbadan tegab dan besar sehingga  hal tersebut juga memperlihatkan kewibawaan beliau. Konon katanya beliau sangat senang pergi ke daerah lain untuk menguji ilmu yang telah beliau dapat (studi banding), bahkan beliau pernah pergi ke daerah Jawa, seperti Jawa Timur , Bnten dll. Beliau pernah tinggal di lubuk Bagalung padang dan mendirikan pesantren di sana. Tanya Angku Laskar Harun dan angku Karim.
[3] Wawancara dengan angku Laskar Harun pada hari sabtu,22 okt 2011, jam 15.00 WIB. Dan wawancara dengan angku Karim hari minggu, 23 okt 2011, jam 11.00 WIB
[4] Kitab Mahalli, Syekh Jalaluddin Al-Mahalli, jelid I, hal:278
[5]  Pulau Dun-dun adalah sebuah pulau yang terletak di daerah sumatera Utara, yang mendekati daerah  Sibolga. kisah Buya Labai Sati terdampar di pulau Dun-dun  ini sebelumnya sudah pernah ditulis oleh anak Buya sendiri yaitu …. Yang waktu itu ikut bersama Buya pergi ke Aceh. Karena  Menurut  cerita yang penulis dengar Buya selalu membawa menimal seorang teman ketika beliau bepergian termasuk ketika beliau pergi memenuhi panggilan mengaji ke daerah-daerah lainnya. Tanya Angku Laskar Harun, Angku Karim DAN Angku Izzuddin Dt. Panduko nan Banso.

[6] Wawancara dengan Angku Laskar  Harun pada hari sabtu,22 okt 2011, jam 15.00 WIB
[7] Wawancara dengan  Engku lasykar pada hari minggu tanggal 22 oktober 2011 jam 14.00 WIB - selesai