MAKALAH
HUKUM
PERDATA ISLAM DI INDONESIA
Tentang
PERKAWINAN
WANITA HAMIL
Diajukan Untuk Melengkapi Salah Satu
Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata Islam di
Indonesia
Oleh:
Irwan Suhendra
Dosen pembimbing:
Prof. Dr. H. Makmur Syarif, SH. M.Ag
JURUSAN AL - AHWAL ASY - SYAKHSHIYAH FAKULTAS
SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1434 H / 2013 M
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi
Allah yang Maha Sempurna keagunganya, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan
hidayahNya kepada kita bersama, mudah- mudahan Allah SWT menuntun setiap
langkah kita dalam kehidupan ini sehingga apapun yang kita lakukan benar- benar
dalam ridha Allah.
Shalawat dan salam sejahtera kepada Nabi Muhamad SAW yang menjadi panutan
dan junjungan bagi seluruh umat semua. Dan beliau meninggalkan kepada kita dua
pusaka yaitu Al-Quran dan Hadis sebagai acuan hidup demi mencapai hidup yang
sempurna dunia atau pun akhirat.
Puji syukur kami
ucapkan kehadirat Allah SWT atas kemudahan yang diberikan-Nya sehingga kami
telah menyelesaikan makalah sederhana ini tentang Perkawinan Wanita Hamil. Dan untuk lebih jelasnya akan dibahas dalam pembahasan.
Akhirnya kami dari
pemakalah memohon ampun kepada Allah dan meminta maaf kepada pembaca, bila ada
kesalahan, kejanggalan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini karena
keterbatasan ilmu dan sumber yang pemakalah dapatkan. Dan semoga dengan adanya
makalah ini bisa menambah ilmu pengetahuan bagi pembaca dan begitu juga bagi
pemakalah sendiri, amin.. ya rabbal ‘alamin.
BAB II
PENDAHULUAN
Kawin hamil merupakan fenomena yang semakin marak di masyarakat
akhir akhir ini. Bahkan seolah-olah kawin hamil telah menjadi bagian dari
budaya yang berkembang dalam masyarakat kita. Seandainya pada setiap
perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah mencatat pasangan yang kawin hamil, pasti
akan diperoleh data yang dapat membuat kita tercengang.
Prosentase perkawinan yang dicatat mungkin didominasi oleh kawin
hamil. Namun yang menjadi persoalan adalah banyak orang di sekitar kita yang
belum tahu tentang hukum kawin hamil itu sendiri, untuk itu dalam makalah ini penulis
akan mengungkap misteri dibalik kawin hamil dilihat dari kacamata islam.
BAB III
PEMBAHASAN
Perkawinan Wanita Hamil
A.
WANITA HAMIL
Perkawinan ialah ikatan
lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan
wanita hamil adalah seorang wanita yang hamil sebelum melangsungkan akad nikah,
kemudian dinikahi oleh pria yang menghamilinya. Oleh karena itu, masalah
perkawinan wanita hamil harus dibutuhkan penelitian dan perhatian yang
bijaksana terutama Pegawai Pembantu Pencatat Nikah (P3N).[1]
Menurut buku Amir Syarifuddin[2],yang
dimaksud dengan anak zina atau perzinaan dalam pandangan Islam adalah hubungan
kelamin yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan di luar nikah, baik
masing-masing sedang terkait dalam tali perkawinan dengan yang lain atau tidak.
Laki-laki yang telah melakukan perzinaan itu disebut pezina.
Tentang hamil di luar nikah sendiri sudah kita ketahui sebagai
perbuatan zina baik oleh pria yang menghamilinya maupun wanita yang hamil. Dan
itu merupakan dosa besar. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada
yang secara ketat tidak memperbolehkan, ada pula yang menekankan pada
penyelesaian masalah tanpa mengurangi kehati-hatian mereka. Sejalan dengan
sikap para ulama itu, ketentuan hukum Islam menjaga batas-batas pergaulan
masyarakat yang sopan dan memberikan ketenangan dan rasa aman.
Dalam Impres No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi
Hukum Islam(KHI), Bab VIII Kawin Hamil sama dengan persoalan menikahkan wanita
hamil. Pasal 53 dari BAB tersebut berisi tiga (3) ayat, yaitu:[3]
1.
Seorang
wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya.
2.
Perkawinan
dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa
menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.
3.
Dengan
dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan
ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Dasar pertimbangan Kompilasi Hukum Islam terhadap perkawinan wanita
hamil adalah QS: An-Nur ayat 3, yang berbunyi.[4]
ÎT#¨9$# w ßxÅ3Zt wÎ) ºpuÏR#y ÷rr& Zpx.Îô³ãB èpuÏR#¨9$#ur w !$ygßsÅ3Zt wÎ) Ab#y ÷rr& Ô8Îô³ãB 4 tPÌhãmur y7Ï9ºs n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÌÈ
Artinya: laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan
yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak
dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.
Maksud ayat di atas ialah tidak pantas orang yang beriman kawin
dengan yang berzina, demikian pula sebaliknya. Persoalan menikahkan wanita
hamil apabila dilihat dari KHI, penyelesaiaanya jelas dan sederhana cukup
dengan satu pasal dan tiga ayat. Yang menikahi wanita hamil adalah pria yang
menghamilinya, hal ini termasuk penangkalan terhadap terjadinya pergaulan
bebas, juga dalam pertunangan. Asas pembolehan pernikahan wanita hamil ini
dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepastian hukum kepada anak yang ada
dalam kandungan, dan logikanya untuk mengakhiri status anak zina.
B.
Berkenaan Dengan Pezina
Bahasan berkenaan dengan pezina menyangkut dua hal[5], yaitu: kawin dengan pezina dan kawin dengan pezina yang sedang
hamil atau perempuan hamil sebagai akibat zina.
1.
Kawin
dengan pezina
Perempuan pezina haram dikawini oleh laki-laki baik (bukan pezina),
sebaliknya perempuan baik-baik tidak boeh kawin dengan laki-laki pezina. Keharaman
mengawini pezina ini berdasarkan firman allah dalam surah an-Nuur ayat 3.
ÎT#¨9$# w ßxÅ3Zt wÎ) ºpuÏR#y ÷rr& Zpx.Îô³ãB èpuÏR#¨9$#ur w !$ygßsÅ3Zt wÎ) Ab#y ÷rr& Ô8Îô³ãB 4 tPÌhãmur y7Ï9ºs n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÌÈ
Artinya: laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan
yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak
dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.
Ayat Al-Qur’an di atas dikuatkan oleh hadis Nabi dari Abu Hurairah
menurut riwayat Abu Daud dan Ahmad:
قل ر
سول الله صلى الله عليه و سلم الزانى امجلود لا ينكح الا مشله
Bahwasanya Nabi SAW. bersabda: “pezina yang telah menjalani hukuman
tidak boleh kawin kecuali dengan sesamanya.
Ulama berbeda dalam memahami hukum yang timbul dari ayat al-Qur’an
dan hadis Nabi yang menguatkannya tersebut di atas, karena larangan (لا) dalam ayat
mengandung kemungkinan larangan haram atau berarti mencela. Sebagian ulama
berpendapat tidak bolehnya melakukan perkawinan dengan pezina sedangkan
sebagian lain membolehkannya. Alasannya adalah larangan mengandung arti celaan
dan bukan haram. Mereka memperkuat pendapatnya denga hadis Nabi yang
mengisahkan Ibnu Rusyd:
Bahwa seorang laki-laki berkata kepada nabi SAW. tentang istrinya
yang tidak menolak sentuhan laki-laki lain. Nabi berkata kepadanya:
“ceraikanlah dia”. Si laki-laki berkata: “saya masih mencintainya”. Nabi
berkata: “kalau begitu tahanlah dia”.
Apabila pezina tadi sudah tobat semua ulama sepakat mengatakan
bahwa larangan tidak berlaku lagi karena dengan tobat itu dia sudah menjadi
perempuan atau laki-laki baik-baik dan tidak akan disebut pezina dan dosanya
diampuni Allah. Sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Furqan ayat 68 dan
70.
2.
Kawin
dengan perempuan hamil karena zina
Dalam hal mengawini perempuan hamil karena zina ulama berbeda
pendapat dalam menetapkan hukumnya.
a.
Ulama
Malikiyah dan Hanabilah mengatakan bahwa, perempuan tersebut tidak boleh
dikawini kecuali setelah ia melahirkan anak; sebagaimana tidak boleh mengawini
perempuan dalam masa iddah hamil.
b.
Ulama
Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Zhahiriyah mengatakan bahwa, perempuan yang sedang
hamil karena zina itu boleh dikawini tanpa menunggu kelahiran bayi yang
dikandungnya.
Dalam hal apakah perempuan tersebut boleh digauli oleh suaminya
sewaktu masih hamil berbeda pendapat
mereka.
a.
Menurut
Hanafiyah, perempuan itu tidak boleh digauli oleh suaminya sebelum ia melahirkan
dan habis masa nifasnya. Alasannya adalah karena adanya hadis Nabi yang
melarang menumpahkan bibit di lading orang lain. Pendapat ini juga berlaku di
kalangan ulama Zhahiriyah.
b.
Syafi’iyah,
suami yang telah mengawini perempuan hamil itu boleh menggauli istrinya itu
tanpa menunggu kelahiran anak. Alasanya ialah karena denga telah menjadi
istrinya sudah halal dia mengauli.
Jadi penullis dapat menyimpulkan dari pendapat para ulama yang
mengatakan bahwa laki-laki yang berzina halal menikahi wanita yang berzina
pula. Dengan demikian perkawinan antara pria dengan wanita yang dihamili
sendiri adalah sah. Mereka boleh bersetubuh sebagaimana layaknya suami isteri,
ini juga tidak bertentangan dengan isi surat An-Nur ayat (3), karena mereka
statusnya sebagai orang yang berzina.
Seperti Ketentuan mengenai kawin hamil dalam Pasal 53 KHI yang
merupakan ketentuan baru dalam hukum perkawinan di Indonesia Dalam Pasal 53
disebutkan bahwa seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan
pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil tersebut dapat dilangsungkan
tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Dengan dilangsungkannya
perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan lagi setelah
anak yang dikandungnya lahir.
C.
Status anak dari hamil zina
Meurut fiqh Islam dalam pemahaman yang cukup tegas berkenaan dengan
anak yang sah, tidak ditemukan defenisi yang jelas dan tegas berkenaan dengan
anak yag sah. Namun, berangkat dari definisi ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis,
dapat diberikan batasan, anak sah adalah anak yang lahir oleh sebab dan di
dalam perkawinan yang sah. Selain itu, anak zina yang hanya memiliki hubungan
nasab dengan ibunya[6].
Adapun anak dari hasil hubungan zina, maka
setelah perkawinan kedua orang tuanya dapat ditetapkan dengan dua kemungkinan,
yakni:
1. bila
anak tersebut lahir 6 (enam) bulan lebih setelah perkawinan sah kedua
orang tuanya, maka nasab nya adalah kepada suami yang telah mengawini
ibunya itu.
2. bila
anak tersebut lahir kurang 6 (enam) bulan setelah perkawinan sah kedua orang
tuanya, maka nasab anak tersebut adalah kepada ibunya.
Hal ini bersesuaian dengan pendapat jumhur ulama’ diantaranya syekh
muhammad Zaid
Al- Abyani yang menyatakan
bahwa batas minimal umur kandungan adalah 180 hari = 6 bulan. Para ulama
mendasarkan hukumnya dari perpaduan dua ayat, masing masing dari
surat Al- Ahqoof ayat 15 dan surat Luqman ayat 14.
¼çmè=÷Hxqur ¼çmè=»|ÁÏùur tbqèW»n=rO #·öky 4
Artinya: …Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,…
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jadi penullis dapat menyimpulkan dari pendapat para ulama yang
mengatakan bahwa laki-laki yang berzina halal menikahi wanita yang berzina
pula. Dengan demikian perkawinan antara pria dengan wanita yang dihamili
sendiri adalah sah. Mereka boleh bersetubuh sebagaimana layaknya suami isteri,
ini juga tidak bertentangan dengan isi surat An-Nur ayat (3), karena mereka
statusnya sebagai orang yang berzina.
B.
Saran
Semoga kita terjaga dan dijaga dari pergaulan bebas yang semakin
gencar terjadi di sekeliling kita. Semoga Allah mempertemukan kita dengan jodoh
yang sama sama mukmin dan pandai menjaga kesucian diri serta kehormatan diri.
Amiin…
DAFTAR PUSTAKA
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:
Sinar Grafika, 2006
Suparman Usman, Hukum Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama,
2002
Amir
Syaripudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia:Antara Fiqh Munakahat dan UU
Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2006
Busthanul
Arifin, Hukum Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002
Amir
Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI,
Jakarta:Kencana, 2004
[1]Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:
Sinar Grafika, 2006, hlm. 45
[2]
Amir Syaripudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia:Antara Fiqh Munakahat
dan UU Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2006, hlm. 130
[3]
Busthanul
Arifin, Hukum Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002, hlm. 235
[4]
Zainuddin Ali, Opcit, hlm 45-46
[5]
Amir
Syarifuddin, Opcit, hlm. 130-131
[6]
Amiur
Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, HUKUM Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI,
Jakarta:Kencana, 2004, hlm. 276-277