Jumat, 16 Maret 2012

pengertian, macam-macam, dan syarat-syarat ijtihad


Pengertian, macam-macam, dan syarat-syarat ijtihad

Oleh : Neri Yusmardi

BAB I
PENDAHULUAN
Alhamdulillah, puji dan rasa syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan ramat dan karuniaNya kepada kita . shalawat dan salam tidak akan pernah lupa kita sampaikan kepada pemimpin kita yaitu Nabi Muhammad SAW.
Kita sudah mengetahui bahwa dalam kuhum Islam kita memiliki dua rujukan teratas, yaiitu al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, namun tidak semua masalah ada dalam al-qur’an dan sunnah tersebut, sehinggah kita membutuhkan jalan lain apabila terjadi kekosongan hukum untuk memecahkan suatu masalah, cara tersebut kita kenal dengan metode ijtihad.
Dalam makalah ini penulis akan mencoba membahas tentang metode ijtihad ini, mulai dari pengertian dan dalil tentang boleh memakai metode ijtihad,sampai pembagian serta  syarat-syarat seorang mujtahid. Semogaa tulisan ini bermanfaat dan Selamat menikmati.

















BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian Ijtihad
Ijtihad secara etimologi ijtihad berakar dari kata jahda yang berarti al-masyaqqah(yang sulit yang susah).namun dalam al-qur’an kata jahda sebagai mana dalam Qs.an-nahl:38
(#qßJ|¡ø%r&ur «!$$Î/ yôgy_ öNÎgÏZ»yJ÷ƒr&   Ÿw ß]yèö7tƒ ª!$# `tB ßNqßJtƒ 4 4n?t/ #´ôãur Ïmøn=tã $y)ym £`Å3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw šcqßJn=ôètƒ ÇÌÑÈ
Artinya: Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: "Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati". (Tidak demikian), bahkan (pasti Allah akan membangkitnya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui,
Dan juga ada dalam surat an-nur:53, dan father:42 semuanya mengandung arti badzl al-Wua’i wa thaqati(pengerahan segala kesanggupan dan kekuatan). Atau juga berarti al-mubalaghah fi al-yamin (berlebih-lebihan dalam sumpah)
Al-zubaidi berpendapat bahwa kata juhda dan jahda mempunyai arti kekuatan dan kesanggupan sedang bagi Ibnu katsir jahda berarti yang sulit, berlebih-lebihan atau bahkan tujuan, sedang Sa’id al-Taftani  memberikan arti ijtihad dengan tahmil al-juhdi (kearah yang membutuhkan kesungguhan)  kendati semua arti itu maka ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan dan kekuatan untuk memperoleh apa yang dituju sampai pada batas puncaknya[1].
Ibrahim Hosen mengidentikkan (muradif) makna al-ijtihad dengan al-istinbath.  Istinbath berasal dari kata nabath (air yang mula-mula memancar dari sumur yang digali) Dengan demikian, menurut bahasa, arti istibath sebagai pedoman dari ijtihad ialah” mengeluarkan sesuatu dari persembunyian.[2]
Sedangkan arti ijtihad dari terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefenisikannya. Perbedaan itu karena sudut pandang mereka yang berbeda-beda. Sebagai ulama mendefenisikan ijtihad dan qiyas pengertian ini menurut al-Ghazali  al-Mustafa  tidak cocok, karena sifat ijtihad tidak cocok, karna sifat ijtihad lebih luas daripada qiyas, sementara itu al-Syafi’i tetap mengartikan ijtihad dalam arti sempit dengan qiyas.
Bagi mayoritas ulama usul fiqih, ijtihad adalah ”pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat zhan mengenai hukum syara”. Dalam defenisi ini terdapat perkataan untuk memperoleh pengertian tingkat zhan mengenai hukum syara’ amali  ialah hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan manusia yang lazim disebut dengan hukum taklifi.  Dengan demikian, ijtihad tidak untuk mengeluarkan hukum syara’ amali yang statusnya qath’i.[3]

  1. Tumbuhnya Ijtihad Serta Sebab Munculnya
Telah menjadi bagian dari kasih Allah terhadap hambaNya, bahwa dia tidak membiarkan mereka dalam keadaan sia-sia, berbuat dan bertindak mengikuti keinginan dan instingnya,sifat kasih Allah itu termanifestasi pada dikirimkannya para rasul dan nabi yang menyampaikan kabar gembira dan kabar peringatan karena rahmatnya terhadap mereka. karena itu pula, Allah akhiri rangkaian kerasulan dengan Nabi Muhammad saw., lalu ia berijtihad dalam masalah keduniaan dan keagamaan. Jika ijtihadnya sesuai dengan kehandak Allah, maka wahyu turun menguatkannya dan jika tidak, maka wahyupun datang  menjelaskan cara yang benar dalam masalah tersebut. Diantara ijtihad beliau adalah menahan orang yang kalah dalam perang badar sebagai tawanan, kebijakan Rasul itu di kritik oleh Allah denagan firmannya[4];
Ÿ$tB šc%x. @cÓÉ<oYÏ9 br& tbqä3tƒ ÿ¼ã&s! 3uŽó r& 4Ó®Lym šÆÏ÷WムÎû ÇÚöF{$# 4 šcr߃̍è? uÚttã $u÷R9$# ª!$#ur ߃̍ムnotÅzFy$# 3 ª!$#ur îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇÏÐÈ  
67.  Tidak patut, bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Ayat ini mengkritik Nabi yang mengambil kebijaksanaan untuk menahan oarang yang kalah dalam perang badar sebagai tawanan, yang menurut saran beberapa oarang sahabat tawanan itu harus dibunuh. Ternyata kemudian tawanan yang ditahan itu mendatangkan kerugian kepada umat islam.
Kritikan Allah dalam ayat ini menunjukkan bahwa tindakan Nabi, bukan berdasatkan wahyu. Kalau memang dari wahyu, tentu Allah tidak akan mencela melalui wahyu yang menuntun Nabi dalam berbuat.
Dan Rasul saw.juga mengizinkan sahabatnya berijtihad, dengan tujuan agar mereka benar-benar mendapat pelajaran dari beliau, baik dalam bentuk perkataan maupun dalam bentuk perbuatan. Ibn al-Qaiyim berkata[5]:”Pada zaman Nabi saw,sesungguhnya para sahabat telah melakukan ijtihad mengenai banyak ketetapan hukum dan rasul ternyata  tidak memaksa agar mereka mengikuti perintahnya melakukan shalat di perkampungan Bani Quraizhah, Sebagian mereka berijtihad dan berkesimpulan untuk melakukan shalat ashar di dalam perjalanan, Mereka berkata: rasul tidak menghendaki agar kami cepat bangkit melakukannya. Jadi mereka memandang kepada makna, sebahagian sahabat yang lain berijtihad pula,  ijtihad mereka menghendaki agar mereka menunda pelaksanaan shalat ashar mereka sampai mereka tiba di perkampungan Bani Quraizhah,  karena itu mereka melakukan shalat ashar di malam hari mereka melihat ini kepada lafazh dan dengan demikian, maka mereka merupakan golongan salaf aliran al-zhahiri, Sedangkan sahabat yang tersebut sebelumnya adalah pemegang makna dan al-Qias.
Dengan wafatnya Rasul saw, maka wahyupun terputus, hal itu terjadi setelah Allah menyempurnakan agama dan melengkapi nikmat-nya terhadap orang-orang islam dalam firmannya,


4 tPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYƒÏŠ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMŠÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYƒÏŠ 4
Artinya….. pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. …..

  1. Dalil Hukum Ijtihad
Ijtihad adalah salah satu sendi syari’at yang besar dan dalil-dalil untuk itu cukup banyak.Di dalam Al-Qur’an,banyak ayat yang mendesak menggunakan pikiran dan mengharuskan mengambil I’tibar,seperti firman Allah;
4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ ÇÌÈ  
Artinya:Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.[6]
Dan:
 (#rçŽÉ9tFôã$$sù Í<'ré'¯»tƒ ̍»|Áö/F{$# ÇËÈ  
Artinya:. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.®[7]
Selain itu ada juga yang secara terbuka menyatakan pengakuannya terhadap prinsip ijtihad dengan menggunakan metode al-qiyas,yaitu firman Allah SWT:
!$¯RÎ) !$uZø9tRr& y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ zNä3óstGÏ9 tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# !$oÿÏ3 y71ur& ª!$# 4
artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu,[8]
Kata ara pada ayat ini mencakup penetapan hukum berdasarkan nash dan yang berdasarkan proses penetapan hukum yang di tetapkan langsung dari nash
Ada riwayat dari nabi saw, yang menyebutkan, bahwa beliau pernah berkata kepada mu’adz ibn jabal ketika ia beliau tunjuk untuk pergi ke yaman:’’apa yang engkau lakukan menghadapi suatu peristiwa hukum? Mu’adz menjawab:’’aku akan memutuskan perkara itu berdasarkan petunjuk Al-Qur’an.’’
Rasul saw bersabda lagi:’’bagaimana jika jawabannya tidak terdapat di dalam Al-Qur’an? Mu’adz menjawab:’’akan ku putuskan berdasarkan Sunnah Rasulullah saw.’’kata Rasul lagi:’’Bagaimana jika jawaban itu tidak terdapat di dalam Sunnah Rasulullah saw? Jawab Mu’adz:’’aku akn berijtihad dengan menggunakan rasioku, dan aku takkan berlalai-lalai.’’
Mu’adz berkata: lalu Rasul menepuk dadaku lalu berkata:’’Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan rasulnya untuk melakukan apa yang di ridhai oleh Rasulnya[9]. Dalam satu riwayat dari Mu’adz juga di sebutkan bahwa Rasulullah saw berkata:’’apabila seorang hakim telah berijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya itu salah, maka ia berhak menerima satu pahala dan jika hasil ijtihadnya benar maka ia berhak mendapat dua pahala.[10]
Dan kenyatannya memang sahabat telah ijma’ tentang di syari’atkannya  ijtihad dan kerena itu pula, apabila mereka menghadapi peristiwa hukum syara’ berupa halal dan haram, dan mereka tidak dapat menemukan nash tentang keputusan hukumnya, maka mereka segera melakukan ijtihad, dan perbuatan demikian di kenal secara luas dari khulafa’ al-Rasyidin, dan selain itu adajuga riwayat dari imam mazhab yang empat yang menguatkan hal itu. Abu hanifah umpamanya berkata;’’Seseoarang tidak di benarkan mengikuti pendapat kami sebelum ia tuhu persis dasar pendapat tersebut.
Malik bin Anas berkata; Aku ini sesungguhnya tak lain adalah manusia biasa. Aku bisa salah dan bisa benar. Karena itu, perhatikanlah baik-baik pendapatku, dan semua yang sesuai dengan kitab Allah dan sunnah Rasulnya  silahkan kamu ambil, dan semua yang tidak sesuai dengan kitab Allah dan Sunnah Rasulnya tinggalkan!
Al-Syafi’I berkata;’’perumpamaan orang yang menuntut ilmu tanpa hujjah sama dengan orang yang mencari kayu api di malam hari. Ia pikul ikatan kayu yang di dalamnya ada ular berbisa yang akan menggigitnya sedang ia sendiri tidak mengetahuinya.’’Sementara itu Imam Ahmad berkata;’’janganlah kamu bertaqlid kapada siapapundalam masalah agamamu.

  1. Pembagian ijtihad
Ada beberapa pendapat ahli ushul mengenai pembagian ijtihad di antaranya yaitu:
Mahdi Fadhl membagi ijtihad menjadi dua bagian:
1.Ijtihad mutlak, yaitu ijtihad yang melingkupi semua masalah hukum, tidak memilah-milahnya dalam bentuk bagian-bagian masalah hukum tertentu. Atau biasa di sebut dengan ijtihad paripurna. Ulamam yang mempunyai kemampuan dalam hal ini disebut mujtahid mutlaq, yaitu seoarang faqih yang mempunyai kemampuan ijtihad meng-istinbath-kan selurauh bidang hukum dari dalil-dalilnya; atau mempunyai kemampuan meng-istinbath-kan hukum dari sumber-sumber hukum yang diakui secara syar’i dan ‘aqli.
2.Ijtihad juz-i. karia ijtihad seperti ini adalah kajian mendalam tentang bagian tertentu dari hukum dan tidak mendalam bagian yang lain. Pelaku (muhtahid)-nya disebut mujtahid juz-i, yaitu faqih yang mempunyai kemampuan meng-istinbath-kan sebagian tertentu dari hukum syara’ dari sumbernya yang muktabar tanpa kemampuan meng-istinbath-kan semua hukum.
Imam mijtahid yang empat(Maliki, Syafi’I, Hambali, dan Ahmad) termasuk kepada bagian pertama(mujtahid mutlaq) dan kebanyakan mujtahid lainnya termasuk bagian yang kedua(mujtahid juz-i)[11]

  1. Syarat Menjadi Mujahid
1.      Syarat yang berhubungan dengan kepribadian. Syarat kepribadian menyangkut dua hal yaitu”
a.       Syarat umum yang harus dimiliki oleh seorang mujahid  adalah telah baligh dan berakal.
b.      Syarat kepribadin khusus yaitu ia harus beriman kepada Allah secara sempurna, baik yang berkenaan dengan zat, sifat dan perbuatannya. Dan ia percaya kepada kerasulan Nabi Muhammad SAW

2.      Syarat yang berhubungan dengan kemampuan
a.       Mengetahui “ilmu alat”, dalam hal ini adalah bahasa Arab, karena sumber pokok hokum syara’, yaitu Al-Quran dan Sunnah berbahasa Arab.
b.      Pengetahuan tentang Al-Quran
Seorang mujtahi harus mempunyaipemahaman yang baik tntang Al-Quran, sehingga ia dapat mengetahui dan memisahkan antara yang muhkamat dan mutasyabihat; mutlaq dan muqayyad; antara haqiqat dan majaz, sharih dan kinayah, ‘am dank has, antara amar wujub dan bukan wujub, nahi tahrim dan bukan tahrim, antara nasakh dan mansukh, asbabunnuzul, dan lain lainnya.
c.       Memahami Hadist Nabi
Memahami Hadist ini juga hampir sama syaratnya dengan memahami Al-Quran, dan juga harus mengetahui, mana Hadis yang berdaya hukum dan yang tidak berdaya hukum.
d.      Mengetahui tentang ijma’ ulama
Dalam hampir semua literature yang membicarakan tentang syarat-syarat mujtahid, selalu menyatakan pengetahuan tentang ijma’ ini sebagai syarat. Diantara alasannya adalah supaya seorang mujahid tidak menetapkan hukum yang menyalahi apa yang telah ditetapkan ijma’.
e.       Pengetahuan tentang qiyas
Seorang mujahid harus mengetahui hukum-hukum asal yang ditetapkan nash sehingga dapat menghubungkan suatu kasus baru kepada hukum asal itu, dan juga mengetahui ilat suatu kasus itu.
f.       Pengetahuan tentang maksud Syar’I dalam menetapkan hokum.
g.      Pengetahua tentang ushul fiqh.[12]






















BAB III
KESIMPULAN
Ijtihad merupakan suatu usaha yang di lakukan secara sungguh-sungguh dalam mengambil hukum, dan mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seoarang mujtahid, dia harus mengerti tentang al-Quran dan sunnah Nabi, tak cukup dengan sekedar pengetahuan itu saja, dia harus mengerti kaidah-kaidah bahasa arab, karana sumber hukum yang akan dia gali itu berbahasa arab, dalam urusan ijtihad tersebut ada dua pembagian yaitu ijtihad muqayyad dan ijtihad.
 mujtahid mutlaq, yaitu seoarang faqih yang mempunyai akemmpuan ijtihad meng-istinbath-kan selurauh bidang hukum dari dalil-dalilnya; atau mempunyai kemampuan meng-istinbath-kan hukum dari sumber-sumber hokum yang diakui secara syar’I dan ‘aqli.
 mujtahid juz-i, yaitu faqih yang mempunyai kemampuan meng-istinbath-kan sebagian tertentu dari hukum syara’ dari sumbernya yang muktabar tanpa kemampuan meng-istinbath-kan semua hukum, dia berijtihad merujuk kepada mujtahid mutlaq
















DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana 2008), cet ke-5.
Tahido Yaggo, Huzaimah, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu 1997), cet ke-1.
Uman, Chaerul, Ushul Fiqh 1. (Bandung: Pustaka Setia 1998), cet-3
Al-Qardlawy,Yusuf, Ijtihad Dalam Syari’at Islam. (Jakarta, PT Bulan Bintang,1987), cet-1























Pertanyaan
  1. Efri Refiman : tolong sebutkan siapa saja mujtahid mutlak yang telah punah
  2. Donal Supriadi :
  3. Herman : sebutkan syarat-syarat mujtahid yang berhubungan dengan kemampuan
  4. Hendrizal : ketika Nabi menetapkan hukum apakah bisa dikatakan mujtahid                            mutlak
  5. Eka Yulia Ningsi : tolong beri penjelasan tentang syarat-syarat mujtahid yang ada dimakalah ini








                [1] 1.Nadiyah Syarif Al-Umari,al-ijtihad fi al-aslam;ushuluhu, akhkamuhu, Afaquha ,(berikut; Muassasah Risalah, 1981), hlm. 18-19
                 2.Ibrahim Husein,Op.Cit., hlm. 23

[3] Yusuf al-Qardlawy, Ijtihad Dalam Syari’at Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987), hlm. 2
[4] Qs; al-Anfal; 67
[5] Ibn al-Qaiyim, I’lam al muwaqqi’in, jilid I, hlm 203
[6] Qs ar-Ra’d: 3
[7]Q.S al-Hasyar: 2
[8] Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 3
[9] Chaerul Uman. DKK. Ushul Fiqh 1. (Bandung: Pustaka Setia 1998), hlm. 66
[10] Yusuf al-Qardlawy. Ijtihad Dalam Syari’at Islam. (Jakarta, PT Bulan Bintang, 1987), hlm. 99
                                                                                       
[11] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: kencana, 2009), hlm. 284
[12]. Amir Syarifuddin. Op. Cit. 270

1 komentar: